Selasa, 15 Februari 2011

Inilah Sejarah Indonesia (1945-1949)

Kembalinya Belanda bersama Sekutu

Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.
Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia TenggaraJepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI). bertugas melucuti bala tentera

Mendaratnya Belanda diwakili NICA

Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya ialah Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.

Pertempuran melawan Sekutu dan NICA

Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
  1. Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
  2. Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya.
  3. Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur
  4. Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
Baca selengkapnya

Kamis, 03 Februari 2011

Inilah Negeri kita Indonesia Raya

Berawal dari diskursus akademik para antropolog Barat di penghujung

abad ke-19, Indonesia lahir sebagai nama ilmiah yang diperuntukkan

bagi kepulauan Hindia-Jauh jajahan VOC. Pemetaan Nusantara sebagai

kapling kolonial bernama Indonesia telah menyulut diskursus

kebangsaan yang panjang, bermula dari polemik kebudayaan sejak tahun
1935 di harian Pudjangga Baru dan Suara Umum, antara Sutan Takdir
Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Dr Purbatjaraka.

Menurut penulis, jiwa polemik tersebut adalah persoalan: apakah
Indonesia adalah sebuah negeri yang terberi atau datang dari dalam
diri? �Terberi�, menurut logika STA, karena Indonesia terwujud
melalui pengaplingan kolonial atas negeri kepulauan ini. Adapun bagi
Sanusi Pane, Indonesia itu datang dari dalam diri (melalui sejarah)
karena sang budayawan berpandangan, entitas bernama Indonesia adalah
sambungan sejarah Nusantara yang terus berdialektika semenjak zaman

Di masa kepemimpinannya, Bung Karno pernah mengutip tesis Ernest
Renan untuk merumuskan kebangsaan kita. Dalam esai klasiknya, Qu�est-
ce qu�une nation? (What is a Nation, 1882), Renan menjelaskan bahwa
rasa kebangsaan merupakan endapan sejarah kesamaan nasib sekelompok
orang dan visi masa depan yang mereka bentangkan bersama.

Kemudian pada tahun 1983, buku masyhur Imaginary Communities karangan
Ben Anderson terbit dan melahirkan pemikiran baru tentang rasa
kebangsaan yang berseberang pandangan dengan Renan. Anderson
menggambarkan bahwa sebuah bangsa hanya sebatas konstruksi imajiner
sekelompok orang tentang sebuah komunitas yang berdaulat di atas
publiknya. Pandangan ini dipertegasnya dalam buku �Language and
Power: Exploring Political Cultures in Indonesia� (1990), di mana
bahasa Indonesia sebagai elemen penting mosaik komunitas imajiner
Nusantara kerap kali dimanipulasi elite politik untuk merampungkan
arsitektur kekuasaannya.

Selanjutnya, dalam berbagai perdebatan menyoal rasa keindonesiaan,
pakar-pakar kerap membandingkan relevansi antara kedua tesis ini.
Melalui anjakan ilmiah tersebut, diskursus kebangsaan bagai merajut
kembali polemik yang ditelurkan para budayawan kita
terdahulu: �Indonesia, negeri terberi atau produk sendiri?�

Negeri terberi?

Umumnya, pakar dalam negeri bertendensi menghikmahi keindonesiaan
melalui tesis Renan ketimbang logika Indonesia sebagai negeri
terberi. Namun, mesti disadari bahwa tesis Renan lahir dalam konteks
Eropa abad ke-19. Secara garis besar, negara-bangsa di Eropa abad
pertengahan terbentuk dari kelompok-kelompok suku bangsa dalam
wilayah tertentu yang tertindas dominasi Gereja.

Berbeda dengan kita. Nusantara terdiri atas puluhan ribu pulau dan
memiliki tingkat pluralitas kebudayaan yang tinggi. Meski mosaik
kebangsaan kita disebut-sebut telah bersatu melalui Sumpah Pemuda
1928, tak bisa dinafikan bahwa masyarakat Nusantara tidak memiliki
jejak rekam sejarah tunggal yang bisa merekatkannya secara holistik.

Karena kendurnya tali ikatan sejarahwi inilah, sepanjang riwayat kita
hidup bernegara, rasa kebangsaan ditanamkan dalam masyarakat
Indonesia dengan politik identitas. Seperti pada saat politik etis
dilansir, bukankah bahasa Indonesia (melayu tinggi) dijadikan bahasa
nasional agar Belanda dapat menggenggam Nusantara yang luas sebagai
satuan politik jajahannya? Demikian juga yang dilakukan insan-insan
adiputera kita sendiri, sehingga litani realitas kehidupan kita
bernegara menunjukkan betapa relevannya untuk menghikmahi Indonesia
sebagai negeri terberi.

Pada masa Orde Baru, rezim yang paling lama berkuasa itu melansir
kebijakan pembangunan yang mengatasnamakan kemajuan bangsa. Namun,
keuntungan pembangunan bagai kue yang diperuntukkan untuk sekelompok
orang saja, rakyat banyak hanya disisihkan remah-remahnya. Pancang
kekuasaan Orde Baru bak piramida kurban, di mana para pejabat dan
pengusaha merampas hak-hak rakyat dan menari-nari di atas
penderitaannya. Betapa relevannya pengumpamaan sosiolog kita yang
skeptis itu, negeri ini bagai Republik Kapling di mana setiap jengkal
dan petak bumi Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam satuan kapling
ekonomi politik.

Di manakah rasa kebangsaan yang bisa meredam tingkah korup di antara
rekan-rekan sebangsa? Rasa itu justru direkayasa guna merampungkan
struktur kekuasaan yang korup. Pancasila, ideologi yang dirumuskan
founding fathers kita untuk memfinalisasi Indonesia sebagai sebuah
negara-bangsa, disekap dalam interpretasi-interpretasi sempit
penguasa berupa Manipol-USDEK hingga P4, kemudian dikenakan sebagai
doktrin sakral guna menjaga kesatuan negara dengan menghalalkan cara
yang paling keji sekalipun. Entitas keindonesiaan bak marionette yang
dimainkan oleh tali kendali penguasa. Tariannya hanya mengindahkan
sejumlah elite yang mengendalikannya.

Meneruskan polemik

Bila kenyataan yang tersibak begitu menyakitkan, salahkah paradigma
kita membangsa selama ini? Tidak sepenuhnya demikian. Realitas
seperti Proklamasi Kemerdekaan Indonesia merupakan fakta sejarah yang
ditulis dari perjuangan kebangsaan yang holistik karena berakar dari
aspirasi rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh sejumlah tokoh.

Ihwal-ihwal sejarah yang menggugah rasa senasib sepenanggungan
sebagai sebuah negara-bangsa seperti ini dapat dijadikan tolakan yang
obyektif untuk melihat �Indonesia sebagai produk sendiri�. Ironisnya,
kelanjutan proyek pembangunan rasa kebangsaan kita dicemari oleh
rezim yang pernah menghuni pemerintahan kita, menyebabkan rasa
kebangsaan yang sejati mati suri sebelum bertumbuh.

Kini di tengah tantangan globalisasi dan bangkitnya primordialisme,
revitalisasi keindonesiaan merupakan sebuah kebutuhan mutlak demi
mencegah luruhnya Indonesia menjadi remahan-remahan ideologi
primordial atau menjadi kapling-kapling kapitalisme global. Untuk itu
kita telah dianugerahi dengan dua paradigma kebangsaan oleh para
pendahulu kita.

Ruang polemik antarkedua pandangan ini mesti dibuka bebas agar kita
tidak takabur tatkala menjejakkan kaki untuk menoreh lembaran baru
sejarah yang diliputi hasrat kebersamaan. Polemik tersebut juga akan
menjaga kita dari jebakan kehampaan akan rasa kebangsaan yang sejati,
karena ada pandangan yang meyakinkan kita bahwa Indonesia merupakan
produk sejarah kita sendiri.

Dengan demikian, semoga interaksi kritis di antara dua penalaran yang
berlainan haluan ini mengalir sebagai polemik yang menyehatkan bangsa.
Baca selengkapnya