Senin, 25 April 2011

Kisah LAMADUKELLENG

Lamadukelleng adalah seorang laki-laki yang hidup di sebuah negeri di daerah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia. Saat masih bayi, ia dibuang oleh bibinya ke Sungai Jeneberang. Mengapa Lamadukelleng dibuang ke sungai? Dapatkah ia bertemu kembali dengan kedua orangtuanya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Lamadukelleng berikut ini. 


Alkisah, di sebuah negeri di daerah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, hidup seorang raja muda yang arif dan bijaksana. Raja tersebut sangat perhatian terhadap kehidupan rakyatnya. Ia seringkali berjalan-jalan ke pelosok-pelosok desa untuk melihat langsung keadaan rakyatnya dengan menyamar sebagai rakyat biasa.
Pada suatu malam, sang Raja berjalan-jalan di sebuah perkampungan yang terletak di sekitar sungai Jeneberang. Ketika berada di perkampungan itu, tanpa sengaja, ia mendengar percakapan dua gadis miskin kakak-beradik yang cantik jelita.  
�Kak, siapakah nanti yang ingin engkau jadikan suamimu?� tanya sang Adik.
�Aku ingin bersuamikan tukang masak Raja,� jawab sang Kakak.
�Kenapa, Kak?� sang Adik kembali bertanya.
�Kalau bersuamikan tukang masak Raja, kita tidak pernah merasa kelaparan lagi seperti ini,� jawab sang Kakak.
�Kalau kamu, siapakah yang engkau inginkan jadi suamimu?� sang Kakak balik bertanya.
�Kalau aku, ingin menjadi istri Raja,� jawab sang Adik.
�Wah, tinggi sekali angan-anganmu, Dik!� ucap sang Kakak.
�Iya, Kak! Aku ingin jadi penguasa negeri ini,� imbuh sang Adik.
Beberapa saat kemudian, keduanya pun tertawa mendengar jawaban masing-masing. Sementara itu, sang Raja yang mendengar percakapan mereka pun tersenyum.
�Baiklah kalau itu yang kalian inginkan. Aku akan mewujudkan angan-angan kalian,� kata sang Raja dalam hati seraya berlalu dari tempat itu.
Keesokan harinya, Sang Raja mengutus beberapa orang pengawal istana untuk memanggil kedua gadis miskin tersebut untuk menghadap kepadanya.
�Hai, Kalian! Ikutlah bersama kami ke istana untuk menghadap Raja!� seru utusan Raja.
�Maaf, Tuan!  Kenapa kami disuruh menghadap Raja? Apa salah kami, Tuan?� tanya sang Kakak kepada utusan Raja dengan wajah pucat.
�Maaf, kami hanya menjalankan tugas,� jawab seorang utusan.
Dengan perasaan cemas, kedua gadis itu terpaksa mengikuti para utusan Raja. Di sepanjang perjalanan, hati keduanya terus diselimuti oleh perasaan cemas.
�Jangan-jangan Raja mengetahui percakapan kami semalam,� pikir mereka.
Sesampainya di istana, keduanya pun langsung memberi hormat kepada sang Raja.
�Ampun, Baginda! Ada apa gerangan Baginda memanggil kami?� tanya sang Kakak.
�Aku sempat mendengar percakapan kalian semalam. Benarkah yang kalian katakan itu?� sang Raja balik bertanya.
Mendengar pertanyaan Raja, kedua gadis itu pun semakin ketakutan. Mereka takut berterus terang kepada Raja. Mereka hanya saling melirik.
�Kalian tidak usah takut. Jawab saja dengan jujur!� kata sang Raja.
Oleh karena didesak oleh Raja, akhirnya kedua gadis itu bercerita bahwa sang Kakak hendak bersuamikan tukang masak Raja, sedangkan sang Adik ingin bersuamikan Raja. San Raja pun mengabulkan keinginan mereka.   
�Baiklah, aku kabulkan keinginan kalian. Aku bersedia menikah denganmu,� kata sang Raja sambil menunjuk sang Adik.
Mendengar pernyataan sang Raja, kedua gadis yang semula takut berubah menjadi gembira dan bahagia.
�Benarkah itu, Baginda?� tanya sang Adik seakan-akan tidak percaya.
�Percayalah! Aku tidak akan berbohong kepada kalian,� jawab sang Raja.
�Terima kasih, Baginda Raja,� ucap kedua gadis itu serentak sambil memberi hormat.
Seminggu kemudian, pesta perkawinan mereka pun dilangsungkan. Sang Kakak menikah dengan tukang masak Raja, sedangkan sang Adik menikah dengan Raja. Namun, dalam hati sang Kakak terselip perasaan menyesal dan iri hati kepada adiknya yang bersuamikan Raja, sementara ia sendiri hanya bersuamikan tukang masak.
Setahun kemudian, sang Adik melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Namun, sebelum sang Adik sempat melihat bayinya karena pingsan saat melahirkan, sang Kakak yang membantu persalinannya menukar bayinya dengan seekor kucing dan segera membuang bayi itu ke Sungai Jeneberang. Setelah itu, ia memerintahkan beberapa pengawal untuk menyebarluaskan berita itu ke seluruh penghuni istana dan rakyat negeri bahwa istri Raja melahirkan seekor kucing. Sang Raja yang mendengar berita buruk itu pun menjadi malu dan murka kepada istrinya.
�Pengawal! Jika istriku sudah siuman, segera bawa dia ke penjara bawah tanah. Dia benar-benar telah membuatku malu!� seru sang Raja.
�Baik, Baginda!� jawab para pengawal.
Beberapa saat kemudian, sang Permaisuri pun siuman. Para pengawal istana segera membopong tubuhnya yang masih lemas itu ke penjara bawah tanah.
Sementara itu, bayi laki-laki yang dibuang ke Sungai Jeneberang hanyut terbawa arus menuju ke arah hilir. Kebetulan di daerah hilir ada seorang kakek sedang memancing ikan. Saat sedang asyik memancing, tiba-tiba sebuah bungkusan melintas di dekatnya.
�Hei, bungkusan apa itu?� gumam nelayan itu.
Rupanya, kakek itu tertarik melihat bungkusan itu. Ia pun segera mengambil sebatang bambu dan menggait bungkusan itu ke tepi sungai. Alangkah terkejutnya ia saat melihat seorang bayi mungil tergolek di dalamnya.
�Wah, bayi siapa ini? Sungguh tega orangtua yang telah membuang bayinya,� gumam kakek itu.
Tanpa berpikir panjang, kakek itu pun segera membawa bayi itu ke rumahnya dan menyerahkannya kepada istrinya. Alangkah bahagianya mereka, karena telah mendapatkan bayi yang sudah lama mereka idam-idamkan. Sebab, sudah puluhan tahun mereka menikah, tapi belum dikaruniai seorang anak. Mereka pun merawat dan membesarkan bayi itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ketika anak itu berumur belasan tahun, mereka pun membekalinya dengan berbagai pengetahuan, keterampilan berburu, serta ilmu bela diri. Mereka memberinya nama Lamadukelleng.
Waktu terus berjalan. Lamadukelleng tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Sang Kakek dan istrinya merasa bahwa kini saatnya mereka harus menceritakan asal usul Lamadukelleng. Pada suatu hari, ia pun menceritakan bahwa mereka sebenarnya bukanlah orangtua Lamadukelleng.
�Ketahuilah, Nak! Kami ini bukanlah orangtuamu yang telah melahirkanmu. Kami hanya menemukanmu hanyut terbawa arus di Sungai Jeneberang,� cerita si Kakek.
�Jika benar yang kalian katakan itu, lalu siapakah orangtuaku yang sebenarnya? Dan di mana mereka sekarang?� tanya Lamadukelleng penasaran.
�Maaf, Nak! Kami juga tidak tahu siapa sebenarnya orangtuamu. Tapi, jika kamu ingin mengetahui orang yang telah melahirkanmu, susurilah Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung, niscaya kamu akan menemukan mereka,� pesan si Kakek.
Keesokan harinya, Lamadukelleng pun bersiap-siap untuk berangkat hendak mencari orangtuanya. Sebelum berangkat, si Kakek membekalinya dua buah benda pusaka.
�Anakku, bawalah keris dan permata pusaka ini! Siapa tahu suatu saat kamu akan membutuhkannya,� kata si Kakek sambil menyerahkan kedua pusaka itu.
�Terima kasih atas semua kebaikan kalian. Kalian telah bersusah payah merawat dan membesarkanku. Kelak jika aku telah menemukan orangtuaku, aku pasti akan kembali menemui kalian,� ucap Lamadukelleng.
Usai berpamitan, Lamadukelleng berangkat menuju ke arah hulu Sungai Jeneberang. Berhari-hari lamanya ia berjalan menyusuri tepian Sungai Jeneberang. Pada suatu malam, ia berhenti di suatu tempat untuk beristirahat. Setelah menemukan tempat berlindung dari dinginnya angin malam, ia pun merebahkan tubuhnya dan langsung tertidur lelap karena kelelahan. Pada malam itu, ia bermimpi didatangi orang tua yang mengaku sebagai leluhurnya.
�Hai, Cucuku! Jika kamu berjalan naik ke arah gunung itu, kamu akan menemukan sebuah telaga yang terletak di lereng gunung. Mandilah di telaga itu dan celupkan keris dan permata pemberian orangtua asuhmu itu ke dalam air telaga. Dengan keris dan permata yang telah dilumuri air telaga itu, kamu dapat mengobati segala jenis penyakit,� pesan orang tua itu.


Keesokan harinya, Lamadukelleng pun segera melaksanakan pesan orang tua itu. Ketika sampai di lereng gunung, ia pun menemukan sebuah telaga yang sangat jernih airnya. Ketika ia akan mencebur ke dalam telaga itu, tiba-tiba seekor naga besar muncul ke permukaan telaga. Ia pun mundur beberapa langkah dan langsung teringat dengan pusaka pemberian orangtua asuhnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera mencabut kerisnya yang terselip di pinggangnya. Ular naga yang merasakan getaran dahsyat dari keris itu menjadi terpaku. Pada saat itulah Lamadukelleng segera menghujamkan kerisnya berulang-ulang ke tubuh ular naga itu hingga mati.
Usai beristirahat sejenak, Lamadukelleng pun mandi dan mencelupkan keris dan permatanya ke dalam air telaga. Ia berharap semoga dengan keris dan pusaka itu akan dapat menolong orang-orang yang membutuhkannya.
Setelah itu, Lamadukelleng melanjutkan perjalanan menuju ke arah gunung. Sebelum mencapai gunung itu, ia menemukan sebuah perkampungan yang tanahnya subur, indah dan sejuk. Namun, ketika memasuki perkampungan itu, ia melihat segerombolan perampok menyerbu dan merampas harta benda para warga. Para warga berusaha melakukan perlawanan. Namun karena jumlah perampok itu cukup banyak dan memiliki ilmu bela diri yang baik, para penduduk pun mulai terdesak. Lama-kelamaan korban pun mulai berjatuhan dari pihak warga.
Lamadukelleng yang melihat keadaan itu segera berkelebat ke tengah-tengah medan pertempuran untuk membantu para warga. Dengan kemampuan bela diri yang tinggi, ia bergerak ke sana kemari dengan gesitnya, menghantam para perampok dengan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi. Dalam waktu sekejap, ia berhasil menghalau para perampok tersebut. Penduduk sangat takjub melihat kesaktian Lamadukelleng.
Ketika suasana mulai tenang, Lamadukelleng segera menyuruh para warga untuk membawa korban ke tempat yang aman. Setelah itu, ia pun mulai mengobati para warga yang terluka terkena sabetan golok dan pedang. Dengan keris dan permata pusakanya, Lamadukelleng berhasil mengobati mereka. Melihat kesaktian Lamadukelleng, para pemuka masyarakat kampung itu pun memintanya agar bersedia mengobati warga lainnya yang terkena berbagai macam penyakit.
�Anak Muda! Bolehkah kami meminta bantuan lagi kepadamu?� pinta kepala kampung.
�Apa yang dapat saya bantu, Tuan?� tanya Lamadukelleng.
�Warga kami banyak yang terkena penyakit, mulai dari kesurupan hingga teluh. Barangkali kamu bisa menyembuhkan mereka,� jawab kepala kampung.
Lamadukelleng pun menerima permintaan kepala kampung itu. Ia tinggal beberapa hari di kampung itu untuk mengobati para warga yang sedang sakit. Berkat keris dan permata pusakanya, ia berhasil menyembuhkan para warga dari berbagai macam penyakit yang menimpa mereka. Sejak saat itu, Lamadukelleng pun terkenal sebagai ahli bela diri dan pengobatan hingga ke berbagai penjuru negeri.
Pada suatu hari, berita tentang kesaktian Lamadukelleng itu pun sampai ke telinga Raja yang tinggal di wilayah pegunungan. Rupanya Raja itu tidak lain adalah ayah kandung Lamadukelleng. Ia sudah bertahun-tahun menderita penyakit lumpuh lantaran mengetahui istrinya melahirkan seekor kucing. Ia tidak bisa bangkit lagi dari tempat tidurnya. Berbagai orang pintar telah didatangkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkannya.
Mendengar kabar tentang kehebatan seorang pemuda yang bernama Lamadukelleng, Raja pun memerintahkan beberapa orang pengawalnya untuk mengundang pemuda itu ke istana. Sesampainya di istana, sang Raja menatap pemuda itu dengan penuh perhatian. Pada saat itu tiba-tiba hati sang Raja bergetar. Dalam hatinya terbersit perasaan tali kasih terhadap pemuda itu. Demikian pula sebaliknya, Lamadukelleng pun merasakan hal yang sama saat berada di depan Raja. Walau demikian, Lamadukelleng berusaha menepis perasaan itu, karena ia harus berkonsentrasi untuk mengobati Raja.
�Maaf, Tuan! Tolong ambilkan aku segelas air minum!� pinta Lamadukelleng kepada seorang pelayan istana.
Setelah air minum tersedia, Lamadukelleng pun mencelupkan permata dan ujung kerisnya ke dalam air itu. Kemudian meminta kepada pelayan istana agar segera meminumkan air itu kepada Raja. Sang Raja pun merasakan minuman itu sangat nikmat dan langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Ajaibnya, sesaat kemudian sang Raja mampu menggerakkan tubuhnya yang lumpuh dengan pelan-pelan. Tak lama berselang, sang Raja pulih seperti sedia kala. Alangkah suka-citanya hati sang Raja. Ia tidak lupa berterima kasih kepada pemuda itu.
�Terima kasih, Nak! Kamu telah menyembuhkan penyakit yang aku derita selama puluhan tahun. Kalau boleh aku tahu, dari manakah asal usulmu? Dan Siapa kedua orangtuamu?� tanya sang Raja.
Mendengar pertanyaan itu, Lamadukelleng hanya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sebab ia sendiri sedang mencari kedua orangtuanya.
�Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu dari mana asal usul hamba. Tapi, menurut Kakek dan Nenek yang telah merawat hamba, hamba ditemukan terhanyut di Sungai Jeneberang saat hamba masih bayi. Kakek hanya berpesan supaya hamba menyusuri Sungai Jeneberang hingga ke atas gunung agar dapat menemukan orangtua hamba yang sebenarnya,� cerita Lamadukelleng.
�Aku turut berduka cita atas keadaanmu, Nak! Semoga saja kelak kamu menemukan kedua orangtuamu,� ucap sang Raja.
�Terima kasih, Baginda! Hamba juga berharap demikian,� kata Lamadukelleng.
Setelah itu, Lamadukelleng pun disuruh tinggal beberapa hari di sebuah pondok di samping istana.
�Pelayan! Tolong layani pemuda itu dengan baik. Berikan kepadanya pakaian yang bagus dan makanan yang lezat!� titah sang Raja.
Saat malam menjelang, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Ia membayangkan kisah puluhan tahun yang lalu, ketika istrinya melahirkan seekor kucing. Dalam lamunannya, tiba-tiba sang Raja merasa ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
�Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ah, tidak mungkin manusia dapat melahirkan seekor binatang,� pikirnya.
Sang Raja pun teringat kepada kakak istrinya yang membantu persalinan istrinya. Ia pun segera memanggil kakak istrinya dan suaminya untuk segera menghadap. Sang Kakak dan suaminya pun terkejut mendengar panggilan Raja. Baru kali ini sang Raja memanggil mereka untuk menghadap. Mereka pun mulai ketakutan.
�Bang! Jangan-jangan Raja telah mengetahui semua kebohongan kita. Perasaan berdosa tiba-tiba menghantui hatiku,� kata sang Kakak kepada suaminya.
�Entahlah, Istriku,� kata suaminya dengan cemas.
Sesampainya di depan Raja, sepasang suami-istri itu pun langsung memberi hormat kepada Raja. Sang Raja pun menatap sang Kakak dengan pandangan yang tajam dan penuh wibawa.
�Seingatku, kamulah yang menjaga istriku saat melahirkan. Benarkah begitu?� tanya Raja kepada sang Kakak.
�Be... benar, Baginda!� jawab sang Kakak dengan gugup.
�Kalau begitu, aku mau bertanya kepadamu. Benarkah istriku melahirkan seekor kucing? Ayo, jawablah dengan jujur!� bentak sang Raja.
Mendengar bentakan Raja, sang Kakak bersama suaminya pun langsung bersujud di hadapan Raja.
�Ampuni hamba, Baginda! Hamba dan suami hamba telah bersalah. Kami telah menukar putra Baginda dengan seekor kucing. Ampuni kami, Baginda! Tolong jangan hukum kami!� pinta sang Kakak.
Mendengar jawaban itu, sang Raja bagai disambar petir. Ia benar-benar tidak menyangka jika sang Kakak bersama suaminya telah tega melakukan hal itu. Sang Raja pun tiba-tiba teringat kepada istrinya di penjara selama berpuluh-puluh tahun. Ia benar-benar merasakan kepedihan yang luar biasa, karena telah menghukum istrinya yang tidak bersalah. Dengan wajah merah padam, ia pun memalingkan wajahnya ke arah sang Kakak dan suaminya.
�Lalu, kamu apakan putraku waktu itu?� tanya sang Raja lebih lanjut.
�Ampun, Baginda! Hamba menghanyutkannya ke Sungai Jeneberang,� jawab sang Kakak.
Mendengar jawaban itu, tubuh sang Raja tiba-tiba bergetar. Saat itu pula, ia langsung teringat kepada pemuda yang telah mengobatinya. Maka muncullah dugaan dalam hatinya bahwa pemuda itu adalah putranya.
�Tidak salah lagi, pemuda itu adalah putraku. Pantas hatiku selalu bergetar bila menatapnya,� kata sang Raja dalam hati.
Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana untuk membebaskan istrinya dan memanggil Lamadukelleng untuk menghadap. Ketika sang Raja bersama istri dan putranya berkumpul, sang Raja pun menceritakan kisahnya di masa lalu kepada istri dan putranya bahwa bayi yang dilahirkan istrinya dibuang ke Sungai Jeneberang oleh kakak iparnya.
Mendengar kisah Raja yang persis sama dengan kisah yang dialaminya, tanpa ragu lagi Lamadukelleng langsung memeluk Raja yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Sang Ayah pun membalas pelukan putranya dengan pelukan erat.
�Putraku! Sejak melihatmu, Ayah selalu merasakan getaran batin dan kasih sayang kepadamu. Rupanya itu pertanda bahwa kamu adalah putraku,� kata sang Raja sambil meneteskan air mata.
�Iya, Ayahanda! Ananda juga merasakan demikian,� sahut Lamadukelleng.
Istri Raja hanya mampu membisu memandangi suami dan anaknya yang sedang berpelukan dengan penuh rasa haru. Beberapa saat kemudian, sang Raja pun segera merangkul istrinya. Mereka pun saling berpelukan menumpahkan kerinduan masing-masing. Suasana haru itu berlangsung cukup lama.
�Maafkan aku, Dinda! Kanda telah mencampakkan kalian sehingga harus mengalami penderitaan hingga puluhan tahun,� ucap Sang Raja.
�Sudahlah, Kanda! Yang penting kita semua sudah berkumpul kembali. Kita akan memulai hidup baru yang lebih baik,� kata sang Istri menghibur suaminya.
Usai melepaskan kerinduan, Sang Raja pun segera berpaling ke arah kakak iparnya dan suaminya.
�Kalianlah yang telah menyebabkan kami menderita seperti ini. Kalian harus mendapat hukuman yang setimpal. Pengawal! Bawa mereka ke penjara bawah tanah!� titah sang Raja.
Seminggu kemudian, Lamadukelleng pun dinobatkan menjadi Raja menggantikan ayahnya yang sudah tua. Lamadukelleng memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana. Semua titahnya senantiasa ditaati oleh rakyatnya. Negerinya pun aman, makmur, dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita Lamadukelleng dari daerah Gowa, Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka menolong dan akibat buruk dari sifat iri hati.
Pertama, keutamaan sifat suka menolong. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Lamadukelleng yang suka menolong orang-orang yang sakit dengan perantraan keris dan permata pusakanya. Dengan demikian, ia pun menjadi terkenal dan dapat berkumpul kembali dengan kedua orangtuanya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda mustika ayah,
tulus dan ikhlas jangan berubah
berkorban jangan mengharap upah
supaya hidupmu membawa faedah

Kedua, akibat buruk dari sifat iri hati. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku sang Kakak yang telah membuang putra Raja ke Sungai Jeneberang karena iri hati kepada adiknya yang bersuamikan Raja. Akibatnya, ia dan suaminya harus menghabiskan masa tuanya di penjara bawah tanah. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau suka dengki mendengki, 
orang muak Tuhan benci
Baca selengkapnya

Kisah AMBO UPE DAN BURUNG BEO

Ambo Upe adalah seorang penggembala kerbau yang tinggal di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Indonesia. Ambo upe adalah bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata, yaitu ambo yang berarti bapak, dan upe berarti untung atau beruntung. Ambo upe berarti bapak yang beruntung. Pada suatu hari, Ambo Upe menggembalakan enam ekor kerbaunya di pinggir sebuah hutan lebat. Tanpa diduga, tiba-tiba muncul dua orang perampok dari dalam hutan dengan wajah seram. Kedua perampok itu kemudian menghampiri dan mengikat Ambo Upe pada sebuah pohon, lalu membawa pergi kerbau gembalaannya. Bagaimana nasib Ambo Upe selanjutnya dan keenam kerbaunya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Ambo Upe dan Burung Beo berikut ini.


Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sebuah keluarga petani yang memiliki tiga pasang kerbau. Hewan ternak tersebut digembalakan oleh seorang anak dalam keluarga itu, bernama Ambo Upe. Ia anak yang rajin dan suka menolong terhadap sesama makhluk.
Pada suatu hari, Ambo Upe menggembalakan tiga pasang kerbaunya di sebuah padang ilalang yang luas dan hijau. Menjelang siang, Ambo Upe melepaskan ketiga pasang kerbaunya lalu pergi berteduh di bawah sebuah pohon asam yang rindang di tepi padang ilalang. Di bawah pohon itu, ia duduk bersandar sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi. Di tengah asyik duduk memerhatikan kerbau-kerbaunya yang sedang merumput, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah benda hitam terjatuh tak jauh dari tempatnya berteduh. Oleh karena penasaran, dihampirinya benda itu. Ternyata benda itu adalah seekor anak burung yang belum bisa terbang, bulu-bulu di badannya belum tumbuh dengan sempurna.
�Wah kasihan sekali burung ini. Badannya penuh dengan luka. Sepertinya burung ini terlepas dari cengkeraman burung elang yang menyambarnya,� gumam Ambo Upe iba.
Oleh karena merasa iba kepada anak burung itu, Ambo Upe pun mengobati dan memberinya makan. Kemudian membawanya pulang ke rumah untuk dipelihara.
Beberapa minggu kemudian, burung itu menjadi besar. Bulu-bulunya tumbuh dengan sempurna. Tampaklah bahwa burung itu adalah seekor burung beo. Ambo Upe senang sekali saat mengetahui hal itu. Sejak saat itu, ke mana pun ia pergi, burung beo itu selalu menyertainya. Ketika Ambo Upe pergi menggembala, burung beo itu pun setia menemaninya.  
Pada suatu siang yang sangat terik, usai melepaskan hewan gembalannya, Ambo Upe beristirahat di bawah sebuah pohon hingga tertidur. Baru saja terlelap, tiba-tiba seekor ular mendekatinya dan hendak menggigit kakinya. Untungnya si Burung Beo mengetahui hal itu. Ia pun segera menolong tuannya. Dengan paruhnya yang runcing, ia mematuk mata ular itu hingga berdarah. Ular itu pun merayap pergi karena kesakitan. Selamatlah Ambo Upe dari gigitan ular itu berkat pertolongan Burung Beo.
Burung Beo itu kemudian mendekati dan membangunkan Ambo Upe yang masih terlelap. Ia mengipas-ngipaskan sayapnya pada telinga tuannya. Saat terbangun, Ambo Upe masih sempat melihat ular yang sedang melata pergi. Ia pun menyadari bahwa si Beo baru saja menyelamatkannya dari gigitan ular itu. Dengan perasaan haru, ia membelai-belai Burung Beo itu.
�Terima kasih, Beo! Kamu telah menyelamatkanku dari gigitan ular itu,� kata Ambo Upe terharu.
Demikianlah, setiap Ambo Upe pergi menggembala, si Burung Beo selalu setia menemaninya. Suatu waktu, Ambo Upe membawa kerbaunya ke sebuah tanah lapang yang cukup jauh. Ia meninggalkan padang tempat biasanya menggembala, karena rumputnya sudah kering akibat kemarau panjang. Tempat itu sudah sangat dekat dengan hutan. Tempat itu tampak sepi, karena sangat jarang penduduk yang lalu-lalang.
Pada saat Ambo Upe asyik memerhatikan kerbaunya merumput, tiba-tiba dua orang lelaki bertubuh kekar dan berwajah seram muncul dari dalam hutan. Kedua orang itu kemudian menghampirinya. Ambo Upe menjadi ketakutan, karena ia tidak mengenal kedua orang itu.
�Sepertinya mereka bukan orang baik-baik,� kata Ambo Upe dalam hati dengan perasaan cemas.
Ternyata dugaannya benar. Kedua laki-laki itu adalah perampok.
�Hai, Anak Muda! Sedang apa kamu di sini!� bentak salah seorang dari perampok itu.
�Sss� sssa� saya sedang menggembala kerbau, Tuan!� jawab Ambo Upe dengan gugup.
�Di mana kamu melepaskan kerbau-kerbaumu?� tanya perampok yang satunya dengan nada tinggi.
Oleh karena takut dipukuli oleh kedua perampok itu, Ambo Upe pun menunjuk ke arah di mana kerbau-kerbaunya sedang merumput.
�Ayo, kawan! Kita ikat anak ingusan ini!� seru seorang perampok kepada temannya.
�Kita bawa kerbau-kerbau itu pergi,� sambungnya.
Kemudian kedua perampok itu mengikat tubuh Ambo Upe pada sebuah pohon. Setelah itu, mereka segera menggiring kerbau-kerbau Ambo Upe ke dalam hutan.
Burung Beo tidak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengawasi kejadian itu. Namun, secara diam-diam ia mengikuti langkah kerbau-kerbau tuannya yang digiring oleh kedua perampok itu masuk ke dalam hutan. Ternyata kerbau-kerbau tersebut dikandangkan ke sebuah gua di tengah hutan. Maka tahulah ia tempat persembunyian kedua perampok itu.
Dengan cepat, si Beo terbang meninggalkan gua lalu kembali ke rumah untuk melaporkan kejadian itu kepada ayah Ambo Upe. Pada awalnya, ayah Ambo Upe kesulitan memahami isyarat yang disampaikan si Beo, karena ia jarang bergaul dengannya. Namun, pada akhirnya ia pun memahami isyarat itu bahwa ada sesuatu yang terjadi pada diri Ambo Upe. Ayah Ambo Upe kemudian segera mengikuti arah terbang Burung Beo itu. Sesampainya di padang itu, terlihatlah Ambo Upe terikat tak berdaya pada sebuah pohon. Ia pun segera melepaskan tali yang melilit tubuh anaknya itu. Ambo Upe kemudian menceritakan kejadian yang menimpanya hingga keenam ekor kerbaunya hilang entah ke mana. Mereka pun pulang ke kampung untuk menyusun rencana.
Sesampainya di kampung, ayah Ambo Upe segera mengumpulkan seluruh warga. Lalu ia menceritakan tentang kejadian yang telah menimpa anaknya. Warga kampung pun memutuskan untuk mencari kerbau-kerbau yang telah dirampok dan menangkap pelakunya.
�Terima kasih, bapak-bapak. Saya siap memandu bapak-bapak ke tempat persembunyian perampok itu. Saya telah mendapat isyarat dari Burung Beo saya yang telah membuntuti perampok itu sampai ke tempat persembunyiannya di sebuah gua di dalam hutan itu,� kata Ambo Upe kepada seluruh warga dalam pertemuan itu.
Warga pun merasa gembira atas pemberitahuan Ambo Upe itu. Beberapa warga kampung segera mengikuti arah langkah Ambo Upe yang dipandu Burung Beo kesayangannya. Mereka berangkat lengkap dengan senjata. Sebagian warga menggenggam tombak. Sebagian yang lain membawa badik diselipkan di depan perutnya sambil menepuk-nepuk pangulu-nya. Senjata-senjata tersebut siap untuk digunakan pada saat diperlukan.
Setelah berjalan jauh, mereka pun memasuki kawasan hutan yang lebat itu. Nampak dahan kecil patah dan jejak kaki kerbau sebagai pertanda tempat itu sering dilewati oleh manusia dan hewan. Akhirnya, tibalah mereka di sebuah gua di tengah hutan. Warga kampung semakin tidak sabar ingin menangkap perampok tersebut. Warga yang membawa tombak sudah siap untuk melemparkan tombaknya. Demikian pula warga yang membawa badik, mereka sudah mengeluarkan badiknya dari wanoa-nya untuk menikam perampok itu.
�Tunggu sebentar! Kita tidak perlu gegabah,� ujar seorang warga.
�Benar, jangan sampai mereka mengetahui keberadaan kita,� sambung seorang warga yang lainnya.
�Kita kepung saja tempat ini,� ujar ayah Ambo Upe.
Warga pun segera mengurung tempat itu sambil bersembunyi di balik pepohonan. Kedua perampok yang berada di dalam gua itu tidak menyadari hal itu.  Keduanya pun keluar dari dalam gua ingin kembali merampok binatang ternak milik warga. Namun, baru beberapa langkah keluar dari mulut gua, tiba-tiba di depan mereka berdiri dua warga kampung dengan badik terhunus.
�Berhenti!� sentak seorang warga.
�Hai, orang kampung! Apa maumu datang kemari?� tanya salah seorang perampok dengan nada menantang.
�Oh, rupanya kalian ingin mengantarkan nyawa kalian kemari,� gertak perampok lainnya dengan sombong. Ia merasa masih lebih kuat daripada kedua warga kampung itu, karena badannya lebih besar dan kekar.

Rupanya, kedua perampok tersebut tidak menyadari jika ada puluhan warga lainnya yang masih bersembunyi di balik pepohonan. Mereka mengira warga yang datang hanya dua orang.
Tanpa mereka duga, tiba-tiba di sekeliling mereka puluhan warga kampung telah mengepungnya lengkap dengan tombak dan badik di genggaman.
�Hai, perampok tengik. Menyerahlah! Kalian sudah kami kepung!� seru ayah Ambo Upe.
�Hai, orang tua bodoh! Kamu kira kami takut kepada kalian semua,� jawab seorang perampok dengan angkuhnya.
�Letakkanlah senjata kalian! Tidak mungkin kalian mampu melawan kami yang berjumlah banyak ini,� seru seorang warga.
�Cih, kalian hanya menakut-nakuti kami,� jawab kedua perampok itu serentak.
�Kami tidak ingin melukai kalian,� tambah ayah Ambo Upe.
�Eh, siapa yang menyebut kami akan terluka?�
�Kalianlah yang akan bermandikan darah. Majulah kalau berani!� seru seorang perampok sambil memasang kuda-kuda.
�Baiklah. Kalian jangan menyesal jika badikku ini merobek tubuh kalian!� seru seorang warga dengan geram, lalu mengibaskan badiknya ke arah perampok itu.
Melihat seorang warga menyerang, warga lainnya pun ikut membantu. Silih berganti warga menyerang kedua perampok itu. Rupanya, kedua perampok itu tangguh juga. Namun, tak berapa lama, mereka terdesak dan akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh warga kampung yang berjumlah puluhan.
Warga kemudian menggiring kedua perampok itu beserta puluhan kerbau hasil rampokan mereka ke kampung. Mereka pun menghukum kedua perampok itu dengan cara menugasi keduanya untuk menggembalakan semua binatang ternak milik warga selama sebulan. Usai menjalani hukumannya, kedua perampok tersebut menjadi jera dan tidak pernah merampok lagi. Sejak saat itu, Ambo Upe ditemani Burung Beo kesayangannya kembali menggembalakan ketiga pasang kerbaunya dengan tenang dan aman.
Ambo Upe membelai bulu Burung Beonya yang bertengger di pundaknya dengan penuh kasih sayang.
�Terima kasih, Beo! Kamu memang burung yang baik. Kamu beberapa kali telah menyelamatkanku dari ancaman bahaya,� kata Ambo Upe.
Demikianlah Ambo Upe dan si Burung Beo hidup saling menolong. Jika dahulu Ambo Upe menolongnya, kini si Burung Beo yang menolong Ambo Upe. Ambo Upe pun semakin sayang terhadapnya, dan senantiasa memelihara dan merawatnya dengan baik.
* * *
Demikian cerita Ambo Upe dan Burung Beo dari daerah Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat saling tolong-menolong terhadap sesama makhluk dan akibat buruk suka mengambil barang milik orang lain.
Pertama, keutamaan sifat saling tolong-menolong terhadap sesama makhluk. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Ambo Upe dan si Burung Beo. Awalnya, Ambo Upe menolong si Burung Beo dengan mengobati lukanya akibat cengkeraman kuku burung elang. Setelah itu, si Burung Beo yang menolong Ambo Upe dari gigitan ular dan sergapan perampok. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa orang yang suka berbuat baik (suka menolong) akan mendapat balasan baik pula. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat tolong-menolong dalam kebaikan sangat dianjurkan, karena dapat menimbulkan rasa hormat-menghormati, kasih-mengasihi dan sayang-menyanyangi, sehingga terbina kehidupan yang aman, damai, sejahtera dan harmonis.  Dikatakan dalam untaian syair Melayu:
wahai ananda dengarlah manat,
tulus dan ikhlas jadikan azimat
berkorban menolong sesama umat
semoga hidupmu beroleh rahmat

Kedua, akibat buruk sifat suka merampas hak milik orang lain (merampok). Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku kedua perampok yang merampas ketiga pasang kerbau Ambo Upe. Akibatnya, keduanya pun dihukum oleh warga setempat. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat ini sangat dipantangkan. Menurut Tenas Effendy (2006: 242), mengambil hak milik, harta, atau pusaka orang lain secara semena-mena sangat dipantangkan, karena menyalahi syarak dan adat. Merampas atau menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak sah dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Allah SWT. Dalam ungkapan adat dikatakan:
apa tanda orang terkutuk,
mengambil milik orang ia kemaruk
apa tanda orang celaka,
mengambil hak orang semena-mena
Baca selengkapnya

Kisah PUTRI TANDAMPALIK

Luwu adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia, yang memiliki luas 3.098,97 km2. Dalam perkembangannya, Kabupaten Luwu dimekarkan menjadi tiga daerah strategis, yaitu Kabupaten Luwu Utara yang kemudian dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo. Dahulu, Kabupaten Luwu merupakan pusat kerajaan Bugis tertua yang bernama Kerajaan Luwu, yaitu bermula sebelum abad ke-14 dan berakhir abad ke-16 M. Kerajaan Luwu atau yang biasa juga dieja Luwuq, Luwok, atau Luwu�, tertera dalam epik I La galigo bersama dua kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Wewang Nriwuk dan Tompoktikka. Namun, keberadaan kedua kerajaan yang terakhir disebutkan tidak dapat dipastikan, karena tidak ada bukti-bukti yang nyata mengenai wujud kedua kerajaan tersebut.
Lain halnya dengan Kerajaan Luwu, ia merupakan sebuah kerajaan yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan sebuah istana yang terletak di tengah Kota Palopo (kini menjadi salah satu kota kelas menengah di Provinsi Sulawesi Selatan), yang bernama Istana Luwu. Istana ini dibangun kembali oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an Masehi di atas tanah bekas �Saoraja� (Istana sebelumnya yang terbuat dari kayu, konon bertiang 88 buah). Dalam sebuah cerita rakyat masyarakat Luwuk disebutkan bahwa pada zaman dahulu, Kerajaan Luwu pernah diperintah oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge atau sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Ia memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Tandampalik. Menurut adat yang berlaku di Kerajaan Luwu, bahwa seorang putri Luwu tidak boleh menikah dengan pemuda dari negeri lain. Hal inilah yang membuat Datu Luwu menjadi bimbang. Jika ia menolak setiap lamaran yang datang kepadanya, ia khawatir akan terjadi peperangan dan membuat rakyatnya menderita. Pada suatu hari, utusan Raja Bone  datang kepadanya ingin melamar Putri Tandampalik. Bersediakah Datu Luwu menerima lamaran Putra Mahkota Raja Bone? Akankah terjadi perang antara Kerajaan Luwu dengan Kerajaan Bone? Lalu, bagaimana nasib Putri Tandampalik? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Tandampalik berikut ini. 
     
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah di Provinsi Sulawesi Selatan, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaaan Luwu. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja atau datu yang bernama La Busatana Datu Maongge, atau sering dipanggil Raja Luwu atau Datu Luwu. Ia adalah seorang raja yang adil, arif dan bijaksana, sehingga rakyatnya hidup makmur dan sentosa. Datu Luwu mempunyai seorang putri yang cantik jelita dan berperangai baik, namanya Putri Tandampalik. Berita kecantikan dan perangai baiknya tersebar sampai ke berbagai negeri di Sulawesi Selatan.
Pada suatu hari, Raja Bone ingin menikahkan putranya dengan Putri Tandampalik. Ia pun mengutus beberapa pengawal istana ke Kerajaan Luwu untuk melamar sang Putri. Sesampainya di istana Luwu, utusan tersebut disambut dengan ramah oleh Datu Luwu. �Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Bone,� lapor seorang utusan sambil memberi hormat kepada Datu Luwu. �Kalau boleh aku tahu, ada apa gerangan kalian diutus oleh Raja kalian ke istana kami?,� tanya Datu Luwu dengan penuh wibawa. �Ampun, Baginda! Perkenankanlah kami untuk menyampaikan lamaran Raja Bone untuk putranya kepada putri Baginda yang bernama Putri Tandampalik,� jawab utusan itu memberi hormat.
Mendengar lamaran itu, Datu Luwu terdiam sejenak. Ia bingung untuk mengambil keputusan, menerima atau menolaknya, sebab dalam adat Kerajaan Luwu, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Akan tetapi, jika lamaran itu ditolak, ia khawatir akan terjadi perang yang sangat dahsyat antara dua kerajaan, sehingga membuat rakyat menderita. Setelah beberapa saat berpikir, Datu Luwu masih kebingungan untuk memberikan jawaban. �Wahai, Utusan! Perlu kalian ketahui, bahwa di Kerajaan Luwu ini berlaku sebuah hukum adat, yaitu seorang putri Luwuk tidak boleh menikah dengan pemuda dari negeri lain. Untuk itu, tolong sampaikan kepada raja kalian, supaya aku diberi waktu beberapa hari untuk memikirkan lamarannya tersebut,� ujar Datu Luwu. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun kembali ke Kerajaan Bone untuk menyampaikan berita tersebut kepada Raja Bone.
Keesokan harinya, tiba-tiba negeri Luwu geger. Putri Tandampalik terserang penyakit kusta. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan bahwa Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang sangat berbahaya. Berita tentang musibah yang menimpa sang Putri sudah tersebar ke seluruh negeri. Rakyat negeri Luwu sangat bersedih atas penyakit yang diderita oleh sang Putri yang mereka cintai itu. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan putrinya ke suatu tempat yang jauh. Ia khawatir penyakit putrinya akan menular ke seluruh rakyatnya. �Putriku! Demi keselamatan seluruh rakyat di negeri ini, relakah engkau jika Ayah mengasingkanmu ke daerah lain?� tanya Raja Luwu pada putrinya. �Jika itu adalah jalan yang terbaik, Ananda menerima keputusan Ayah dengan senang hati,� jawab sang Putri menerima keputusan ayahnya dengan tulus.
Dengan berat hati, Datu Luwu terpaksa harus berpisah dengan putri yang sangat dicintainya itu. Berangkatlah sang Putri dengan perahu bersama beberapa pengawal istana. Sebelum berangkat, Datu Luwu memberikan sebuah keris pusaka kepada Putri Tandampalik sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan, apalagi membuang anaknya. Setelah mempersiapkan segala perbekalan yang dibutuhkan, berangkatlah mereka ke suatu daerah yang jauh dari Kerajaan Luwu. Berbulan-bulan sudah mereka berlayar tanpa arah dan tujuan.  
Pada suatu hari, tampaklah bagi mereka sebuah pulau dari kejauhan. �Lihat, Tuan Putri!� seru seorang pengawal sambil menunjuk ke arah pulau itu. �Akhirnya, kita pun menemukan pulau,� jawab sang Putri dengan perasaan lega. Para pengawal pun semakin cepat mengayuh perahunya mendekati pulau itu. �Wah, indah sekali pemandangan itu. Sepertinya pulau itu belum terjamah oleh manusia,� sahut pengawal yang lain dengan kagum.
Tak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Seorang pengawal yang lebih dahulu menginjakkan kakinya di pulau itu menemukan buah wajao. Pengawal itu kemudian memetik beberapa biji buah wajao untuk sang Putri. �Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo,� kata sang Putri saat menerima buah itu. Sejak saat itu, Putri Tandampalik beserta pengawalnya memulai kehidupan baru. Mereka hidup dengan penuh kesederhanaan. Meskipun demikian, mereka tetap bekerja keras penuh dengan semangat dan gembira. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tak terasa satu tahun sudah mereka berada di tempat itu.
Suatu waktu, Putri Tandampalik duduk di tepi danau yang terletak di tengah pulau itu. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampiri dan menjilati kulit sang Putri dengan lembut. Semula, sang Putri hendak mengusirnya. Tetapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya, ia diamkan saja. Sungguh ajaib! Setelah berkali-kali dijilat oleh kerbau itu, kulit sang Putri yang mengeluarkan cairan tiba-tiba hilang tanpa bekas. Kulit sang Putri kembali halus, mulus dan bersih seperti sediakala. Sang Putri terharu dan bersyukur kepada Tuhan, karena penyakitnya telah sembuh. Ia kemudian berpesan kepada para pengawalnya, �Mulai saat ini, aku minta kalian untuk tidak menyembelih atau memakan kerbau putih yang ada di pulau ini, karena hewan itu telah menyembuhkan penyakitku.� Permintaan sang Putri itu langsung dipenuhi oleh seluruh pengawalnya. Hingga kini, kerbau putih yang ada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Kemudian oleh masyarakat setempat, kerbau putih tersebut disebut sebagai sakkoli.  

Pada suatu hari, pulau Wajo kedatangan serombongan pemburu. Mereka adalah Putra Mahkota Kerajaan Bone yang didampingi oleh Anreguru Pakanranyeng, Panglima Kerajaan Bone, dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota Raja Bone tidak sadar kalau ia sudah terpisah dari rombongannya dan tersesat di hutan. Ia terus berteriak memanggil panglima dan para pengawalnya. �Panglimaaa...! Pengawaaal...! Aku di sini, kalian di mana...?� Berkali-kali sang Putra Mahkota berteriak, namun tidak ada jawaban. Menjelang malam, ia pun memutuskan untuk berstirahat di bawah sebuah pohon besar, karena kelelahan seharian berburu.
Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara binatang malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di tengah gelapnya malam, tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya dari kejauhan. Semakin lama, pancaran cahaya itu semakin terang. Ia sangat penasaran ingin mengetahuinya. Ia kemudian memberanikan diri untuk mencari sumber cahaya itu. Dengan tertatih-tatih, Putra Mahkota berusaha berjalan mengikuti kaki melangkah menelusuri gelapnya malam. Akhirnya, sampailah ia di sebuah perkampungan yang ramai dengan rumah-rumah penduduk. Setelah ia memasuki perkampungan itu, sumber cahaya itu semakin jelas terdapat di sebuah rumah yang nampak kosong. Dengan melangkah pelan-pelan, Putra Mahkota mendekati dan memasuki rumah itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis yang cantik sekali bak bidadari sedang menjerang (memasak) air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik. �Ya, Tuhan! Mimpikah aku. Selama hidupku, baru kali ini aku melihat gadis secantik itu,� kata Putra Mahkota dalam hati dengan perasaan kagum.
Putri Tandampalik yang merasa kedatangan tamu, tiba-tiba menoleh. Sang Putri tergagap, �Tampan sekali pemuda ini. Tetapi, siapa dia dan dari mana asalnya? Sepertinya dia bukan penduduk sini,� kata sang Putri dalam hati. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik sangat kagum dengan kehalusan tutur bahasa Putra Mahkota. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun dan tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung menaruh hati. Namun, Putra Mahkota tidak bisa berlama-lama di Pulau Wajo menemani Putri Tandampalik, karena ia harus kembali ke negerinya untuk menyelesaikan beberapa kewajibannya di Istana Bone.
Sejak perjalanan dari Pulau Wajo sampai ke Kerajaan Bone, Putra Mahkota selalu teringat pada wajah cantik Putri Tandampalik. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anreguru Pakanyareng yang lebih dulu tiba di negeri Bone setelah berpisah dengan Putra Mahkota di Pulau Wajo, mengetahui apa yang dirasakan oleh putra rajanya itu. Ia sering melihat Putra Mahkota duduk termenung seorang diri di tepi telaga. Oleh karena tidak ingin melihat tuannya terus bersedih, maka Anreguru Pakanyareng segera menghadap dan menceritakan semua kejadian yang pernah mereka alami di Pulau Wajo. �Ampun, Baginda Raja! Hamba mengusulkan agar Paduka Raja segera melamar Putri Tandampalik,� usul Anreguru Pakanyareng. Setelah mendengar semua cerita dan usulan Anreguru itu, Raja Bone segera mengutus beberapa pengawalnya mendampingi Putra Mahkota untuk melamar Putri Tandampalik di Pulau Wajo.
Sesampainya di pulau itu, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahnya ketika ia diasingkan. �Maaf, Tuan-tuan! Aku belum bisa menerima lamaran kalian. Bawalah keris ini kepada Ayahandaku. Jika Ayahandaku menerima keris ini berarti lamaran kalian diterima,� ujar sang Putri seraya menyerahkan keris pusaka itu. Setelah bermusyawarah dengan pengawalnya, Putra Mahkota memutuskan untuk berangkat sendiri ke Kerajaan Luwu. Perjalanan berhari-hari ia jalani penuh dengan semangat. Setibanya di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu.
Datu Luwu dan permasuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu sangat kagum dengan perangai Putra Mahkota. Datu Luwu merasa bahwa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Tanpa berpikir panjang lagi, Datu Luwu menerima keris pusaka itu dengan tulus. Hal ini berarti bahwa lamaran Putra Mahkota diterima. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi Pulau Wajo untuk menemui putri kesayangannya. Pertemuan Datu Luwu dengan putri tunggalnya sangat mengharukan. �Maafkan Ayah, Nak! Ayah telah membuangmu ke tempat ini,� Datu Luwu minta maaf sambil memeluk putrinya. �Tidak, Ayah! Justru Ayah harus bersyukur, karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang menimpa diriku,� kata Putri Tandampalik.
Beberapa hari kemudian, Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Raja Bone di Pulau Wajo. Pesta pernikahan mereka berlansung sangat meriah. Seluruh keluarga dari dua Kerajaan Besar di Sulawesi Selatan itu sangat gembira dengan pernikahan tersebut. Putri Tandampalik dan Putra Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana. Maka semakin bertambahlah kebahagiaan mereka.  

Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari cerita rakyat di atas, di antaranya sifat bijak, sopan, rendah hati atau tidak sombong. Sifat bijak tercermin pada sifat Datu Luwu. Ia sangat bijaksana mengambil keputusan untuk mengasingkan putri kesayangannya ke tempat yang jauh, demi keselamatan rakyatnya agar tidak ketularan penyakit kusta yang diderita putrinya itu. Sifat rendah hati atau tidak sombong tercermin pada sifat Putra Mahkota Raja Bone.  Meskipun sebagai calon raja, ia selalu bertutur kata halus kepada siapa saja, rendah hati dan tidak sombong. Kesemua sifat tersebut termasuk ke dalam sifat terpuji yang patut untuk diteladani dalam kehidupan sehari-hari.
Sifat bijak yang dimiliki seseorang akan menjadi suatu kenikmatan tersendiri bagi pemiliknya. Ketika menjadi seorang guru yang bijak, guru tersebut akan disukai oleh murid-muridnya. Seorang pemimpin yang bijaksana biasanya disegani oleh kawan maupun lawannya. Demikian pula orang tua yang bijaksana akan dicintai oleh anak-anaknya.
Ada beberapa cara untuk menjadi orang yang bijak, di antaranya tidak emosional, tidak egois dan memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama. Pertama, tidak emosional, yaitu terampil mengendalikan diri dari sifat amarah, ketersinggungan, dan temperamental. Orang-orang yang emosional akan sibuk membela diri dan membalas menyerang, ini tidak bijaksana karena yang ia cari adalah kemenangan pribadi, bukan kebenaran itu sendiri. Kedua, tidak egois, yaitu orang yang tidak menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Orang yang bijaksana adalah orang yang mau berkorban untuk orang lain, bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Ketiga, memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama manusia. Orang yang bijaksana akan selalu sayang terhadap sesama, tanpa harus pandang bulu. Kasih sayangnya tidak hanya untuk satu pihak atau kelompok, melainkan merata untuk semua golongan. 

Sementara sifat rendah hati merupakan salah satu sifat terpuji dalam budaya orang Melayu. Menurut Tenas Effendy, sifat ini secara turun-temurun dikekalkan dalam kehidupan mereka sebagai jati diri. Konon, istilah �Melayu� itu pun berasal dari �me-melayukan� diri, yakni merendahkan hati, berlaku lemah lembut, dan berbuat ramah tamah. Oleh karenanya, orang Melayu umumnya menjauhi sifat angkuh, mengelakkan sombong dan pongah, menghindari berkata kasar, dan tidak mau membesarkan diri sendiri. Orang tua-tua Melayu mengatakan, �adat Melayu merendah selalu�. �Merendah� yang dimaksud di sini adalah merendahkan hati, bermuka manis, dan berlembut lidah, tidak �rendah diri� atau pengecut. Sifat rendah hati adalah cerminan dari kebesaran hati, ketulusikhlasan, tahu diri, dan menghormati orang lain.
Baca selengkapnya

Kisah ASAL MULA NAMA GUNUNG MEKONGGA

Gunung Mekongga memiliki ketinggian 2.620 m di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Menurut bahasa setempat, kata gunung mekongga berarti gunung tempat matinya seekor elang atau garuda raksasa yang ditaklukkan oleh seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi di daerah itu, sehingga Tasahea menaklukkan burung garuda itu? Lalu, bagaimana cara Tasahea menaklukkannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Nama Gunung Mekongga berikut ini.



Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume (kini bernama negeri Kolaka) dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis.
Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya.
Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba (kini bernama Belandete) ada seorang cerdik pandai dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar.  
Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi.
�Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,� ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul.
�Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,� ucap salah seorang utusan.
�Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh (bambu) yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!� perintah Larumbalangi.   
Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria, baik yang ada di negeri sendiri maupun dari negeri lain, untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda.
Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka.
�Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,� sesepuh negeri itu memberi sambutan.
Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Setelah melalui penyaringan yang ketat, akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya.
Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu.
Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu.
�Koeeek... Koeeek... Koeeek... !!!� pekik burung garuda itu kesakitan. 
Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di  puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu.

Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan.
Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi.
�Negeri kami dilanda musibah lagi,� lapor salah seorang utusan.
�Musibah apalagi yang menimpa kalian?� tanya Larumbalangi kepada utusan yang baru datang dengan tergopoh-gopoh.
�Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,� jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka.
�Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,� ujar Larumbalangi.
Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.
�Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!� demikian doa Larumbalangi.
Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur bersahut-sahutan diiringi suara petir menyambar sambung-menyambung. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut.
Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda.
Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan �Tonomotu�o�.

Demikian ceita Asal Mula Nama Gunung Mekongga dari daerah Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Orang yang tidak mudah berputus asa adalah termasuk orang yang senantiasa berpikiran jauh ke depan dan pantang menyerah jika ditimpa musibah. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku masyarakat Kolaka yang ditimpa musibah. Mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari bantuan agar negeri mereka terbebas dari bencana. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

yang berpikiran jauh,
ditimpa musibah pantang mengeluh
yang berpikiran jauh,
tahu mencari tempat berteduh
Baca selengkapnya