Minggu, 18 Desember 2016

Sejarah Suku Laut Lengkap

Suku Dunia ~ Orang Laut terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang berdiam di berbagai kawasan perairan Indonesia, seperti di perairan sekitar pulau Sumatera bagian timur, Kalimantan, Sulawesi, Flores, bahkan ada yang mengembara sampai ke perairan Malaysia dan Filipina. Orang Laut biasa juga dinamakan Suku Laut. Pada berbagai kawasan perairan tersebut subkelompok orang Laut disebut orang Bajau atau Bajo, orang Muara, dan orang Ameng Sewang.


Dilihat dari latar belakang asal-usul mereka, para ahli mengkategorikan orang Laut sebagai sisa turunan nenek moyang bangsa Indonesia yang datang bermigrasi dari daratan Benua Asia sekitar tahun 2500-1500 SM. Mereka tergolong sebagai Melayu (Malayan Mongoloid). Pada masa itu mereka merupakan pendukung kebudayaan batu baru (neolithicum). Bahasa yang mereka gunakan merupakan suatu dialek bahasa Melayu. Contoh kata dialek orang Laut (Bajau) di Jambi adalah mando (mandi), nosi (nasi), koyu (kayu), dan lain-lain.

Jumlah keseluruhan orang Laut tidak dapat lagi diketahui secara pasti. Berbagai sumber menunjukkan angka-angka yang bervariasi. Jumlah orang Laut di Kepulauan Riau berdasarkan hasil penelitian Universitas Riau tahun 1977 sebesar 3.500 jiwa atau 577 kepala keluarga. Data lain menunjukkan jumlah orang Laut pada tahun 1981 sebesar 2.894 jiwa, yakni yang berdiam di Kecamatan Rateh dan Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kecamatan Tambelan, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau.

Orang Laut yang berdiam di pesisir Pulau Belitung disebut orang Ameng Sewang. Mereka berdiam di wilayah Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Membalong, Kecamatan Manggar, dan Kecamatan Gantung, di Provinsi Bangka Belitung. Jumlah mereka pada tahun 1950-an diperkirakan sekitar 1.000 kepala keluarga. Pada tahun 1980 jumlahnya menjadi 150 kepala keluarga dengan jumlah keseluruhan sekitar 500 jiwa. Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial mencatat jumlah orang Ameng Sewang di daerah Belitung hanya 115 kepala keluarga.

Jumlah orang Laut pada umumnya tampak semakin menyusut, karena sistem pengetahuan mereka masih sederhana, sehingga mereka tidak mampu menjawab tantangan alam keras di sekitar lingkungan hidup mereka. Hasil penelitian Universitas Riau tahun 1977 menunjukkan angka kematian orang Laut di Provinsi itu sebanyak 11 persen. Angka kematian yang tinggi itu, antara lain, disebabkan oleh penyakit seperti malaria dan muntah-berak.

Kelompok orang Ameng Sewang kiranya dapat menjadi salah satu contoh untuk mengenali pola kehidupan sosial budaya orang Laut secara keseluruhan. Sumber kepustakaan lama menunjukkan bahwa mereka telah berabad-abad lamanya menghuni laut dan pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bangka Belitung. Ketika pada tahun 1668 kapal Belanda mendarat di Pulau Belitung, para awak kapal mendapat serangan orang Ameng Sewang. Ini menunjukkan bahwa di masa lalu mereka pernah mempunyai kekuatan yang cukup berarti.
Lingkungan alam mereka adalah laut diantara pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Belitung. Kawasan ini berada diantara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, yang sepanjang tahun menjadi arena peralihan musim yang kadang-kadang terasa sangat ganas bagi mereka. Lingkungan dan tantangan yang demikian harus mereka hadapi dengan teknologi dan sistem pengetahuan mereka yang masih sederhana. Musim barat yang garang menyebabkan mereka harus berhenti mencari nafkah di laut. Kadang-kadang mereka harus mengungsi ke pulau-pulau tertentu selama beberapa bulan.

Sebagian kecil siklus hidup orang laut berada di laut, di atas perahu (kolek). Perahu adalah "rumah" dan arena tempat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Di luar musim ikan mereka menetap untuk sementara di sekitar pantai, hidup dalam perahu atau gubuk yang bersifat sementara. Mereka berada di darat rata-rata sekitar dua bulan dalam satu tahunnya. Sebuah perahu didiami oleh satu keluarga inti dengan anak-anak yang biasanya berjumlah kecil. Satu keluarga yang pernah melahirkan enam orang anak sudah merasa bersyukur, apabila dua saja diantaranya hidup. Satu perahu kadang-kadang didiami oleh keluarga luas, yaitu suatu keluarga inti bersama orang tuanya yang sudah berusia lanjut. Anak-anak mereka yang sudah remaja biasanya berdiam di perahu tersendiri dengan anak remaja dari keluarga kerabat lain. Prinsip keturunannya patrilineal dengan adat menetap sesudah nikah patrilokal.

Dalam lintasan hidup individu orang Laut, masa hamil seorang wanita merupakan masa yang penuh kebimbangan dan ketegangan. Pada masa ini ada beberapa pantangan. Orang yang sedang hamil tidak boleh keluar dari perahu atau rumahnya pada saat tengah hari, menjelang senja, dan tengah malam. Pada saat itu, mereka percaya setan akan datang mengganggu. Pada masa itu juga dilarang memukul, menyakiti, dan membunuh binatang. Seorang ibu melahirkan anak di atas perahu dengan bantuan dukun beranak (tengguling). Perahu tempat melahirkan itu harus dilepas dari segala ikatannya, namun perahu lainnya harus ada di sekitarnya. Dengan demikian mereka percaya kelahiran akan menjadi lebih mudah. 

Apabila ada kematian, mayat segera dimandikan berturut-turut dengan air pasir, air daun jeruk nipis atau jeruk purut, dan terakhir dengan air bersih. Mayat juga diberi kafan. Sebelum mayat dimasukkan ke dalam liang lahat, ada orang yang terlebih dahulu masuk ke liang lahat itu untuk menyampaikan pesan sang mayat kepada malaikat Nungka Wanangkir. Dalam cara penguburan itu tampak adanya pengaruh Islam. Pada masa ini sebagian besar orang Laut sudah memeluk agama Islam.

Orang Laut mengenal beberapa jenis kesenian dalam wujud seni tari dan seni suara. Hampir semua nyanyian dan tarian mereka bersifat gembira. Di antara tarian yang dikenal adalah tarian hujung dan ketimpang-burung. Tarian hujung merupakan tarian muda-mudi yang menggambarkan kaum laki-laki sedang menangkap ikan duyung. Tarian ketimpang-burung menggambarkan kegembiraan sambil berpantun bersahut-sahutan dalam bahasa melayu. Nyanyian ulah besin adalah nyanyian yang selalu ada dalam setiap upacara, guna mengusir setan dan memohon perlindungan kepada dewa dan arwah roh nenek moyang. Mereka juga sangat menggemari tarian semacam tari loget. Belakangan ini banyak pemudanya yang menari sambil minum bir, ciu, dan minuman keras lainnya sampai mabuk. Pasa masa lalu masyarakat ini memang sudah terbiasa minum tuak nira kelapa. Kebiasaan merokok menjadi kegemaran yang sudah dimulai sejak usia sangat muda.

Pihak pemerintah pernah berusaha memukimkan mereka dengan jalan menyediakan perumahan. Namun usaha ini belum berhasil karena pada musim menangkap ikan yang cukup lama rumah itu mereka tinggalkan. Mereka memang masih sukar berbaur dengan anggota masyarakat lain di sekitarnya, meskipun sudah biasa masuk ke kota Tanjung Pandan. Kawin campur dengan anggota masyarakat lain terhambat karena mereka masih berpegang teguh pada adat endogami kelompok sendiri dan kesetiaan pada adat itu masih cukup kuat.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
 
Baca selengkapnya

Rabu, 02 November 2016

Sejarah Suku Lio Lengkap

Suku Dunia ~ Lio adalah suku bangsa yang merupakan salah satu kelompok penduduk asal pulau Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada pendapat bahwa orang Lio merupakan kelompok tertua di pulau Flores itu. Wilayah pemukiman orang Lio ini sekarang menjadi wilayah beberapa kecamatan, yaitu kecamatan Ndona, Kecamatan Detusoko, Kecamatan Wolowaru, dan Kecamatan Mourole, yang merupakan bagian dari Kabupaten Ende. Ini berarti wilayah kediaman orang Lio ini mencakup sebagian besar wilayah Kabupaten Ende, sedangkan selebihnya tiga kecamatannya lainnya, yaitu Kecamatan Nangapanda, Ende, dan Kopeta Ende merupakan wilayah asal suku bangsa Ende. Orang Lio juga ada yang bermukim dalam Kecamatan Paga, yang merupakan bagian dari Kabupaten Sikka. Orang Lio memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Lio yang digunakan oleh anggota masyarakat di Kecamatan atau komunitas-komunitas tersebut di atas tadi.


Di pulau Flores ini, orang Lio bertetangga dengan beberapa suku bangsa asal lainnya, misalnya orang Ende tadi, orang Sikka di Kabupaten Sikka, orang Ngada di kabupaten Ngada. Dilihat dari kebudayaannya, orang Lio tidak menunjukkan perbedaan yang besar dengan kebudayaan orang Ende, Sikka, Ngada, Riung, Nagekeo. Perbedaan kebudayaannya agak lebih berbeda dengan kebudayaan orang Manggarai, dan orang Lamaholot. Perbedaan itu juga tampak dari ciri-ciri fisik orang Lio dan beberapa suku bangsa tersebut di atas yang menunjukkan ciri Melanesoid, sedangkan orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciri Mongoloid-Melayu.

Kabupaten Ende yang luasnya 2.046,5 km2, di bagian utara menghadap Laut Flores, sebelah barat bertautan dengan wilayah Kabupaten Ngada, sebelah selatan menghadap ke laut Sawu, dan di bagian timur berbatasan dengan kabupaten Sikka. Kabupaten Ende ditandai oleh lingkungan alam yang bergunung-gunung pada bagian tengah, dan di sela-selanya mencuat gunung Wowonato (1.200 meter), gunung Kelimutu (1.690 meter). Sebaliknya pesisir utara dan selatan berupa dataran rendah yang sempit. Sungai-sungai yang ada tidak begitu berarti untuk pertanian atau perhubungan, bahkan ada sungai yang biasa kering pada musim kemarau.

Gunung Kelimutu tersebut di atas mempunyai "keunikan" tertentu karena terdapat tiga danau yang airnya menunjukkan warna yang berbeda, coklat, biru, dan hijau. Pada masa lalu warna masing-masing danau itu pernah berwarna lain dibandingkan dengan yang ada sekarang. Masyarakat setempat memberi nama tersendiri sesuai dengan legenda rakyat yang turun temurun. Danau yang kini berwarna coklat, yang sebelumnya pernah berwarna putih, lalu hitam pekat, berukuran sekitar 850 x 700 meter dengan volume air 345.000 m3. Danau ini diberi nama "danau arwah orang-orang tua" (Tiwu Ata Mbupu). Danau yang sejak tahun 1973 sampai sekarang berwarna biru, pada tahun 1950 masih berwarna merah darah dan berubah warna hijau daun sejak tahun 1967, berukuran sekitar 600 x 300 meter dengan volume airnya 446.000 m3. Danau ini diberi nama "danau arwah tukang tenung" (Tuwu Ata Polo). Danau yang letaknya di tengah yang sejak tahun 1973 sampai sekarang berwarna hijau, sedangkan sebelumnya berwarna biru laut, berukuran sekitar 600 x 380 meter dengan volume airnya 501.000 m3. Danau ini diberi nama "danau arwah muda-mudi" (Tiwu Nua Mori kooh fai). Secara umum mereka menaruh kepercayaan bahwa danau-danau ini adalah keramat.

Di pihak lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa air danau-danau ini bening seperti biasa. Warna-warni itu disebabkan oleh dasar batu-batuan yang mengandung kristal senyawa. Karena sifat tertentu maka kristal-kristal itu berpantulan dan membias di air yang menimbulkan bayangan warna. Perubahan warna disebabkan kegiatan formula di bawah permukaan meningkat dan pengaruh endapan belerang. Secara geologis, lapisan bumi di pulau Flores umumnya masih tergolong muda sehingga keadaannya masih cukup labil.

Pola Perkampungan Suku Lio

Orang Lio umumnya berdiam dalam kampung-kampung yang disebut Nua. Satu kampung biasanya dihuni oleh kelompok-kelompok klen yang anggotanya masih ada hubungan kerabat. Sesuai dengan tradisi sebuah kampung dari orang Lio ini terdiri dari beberapa unsur bangunan, lapangan tempat upacara, beberapa unsur bangunan batu yang juga terkait dengan upacara atau persembahan sesuai dengan sistem kepercayaan leluhur.

Unsur bangunan penting dalam sebuah kampung ialah rumah adat yang disebut Sao Ria. Rumah adat ini berupa bangunan berbentuk panggung dengan ukuran relatif besar. Bangunan ini tidak dilengkapi jendela, karena atap rumah itu membentang dari atas sampai ke batas dinding bagian bawah. Kolong rumah yang disebut Lewu yang berfungsi menjadi kandang hewan seperti babi, ayam, anjing. Ruang di bagian atas yang dinamakan One menjadi tempat hunian pemiliknya dan ada sebuah ruangan khusus (Padha) sebagai tempat menyimpan benda-benda upacara.

Bangunan lainnya adalah Kedha atau Bhaku berupa bangunan kecil tanpa dinding yang terletak di depan rumah adat tadi. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pertemuan informal atau menerima tamu yang berasal dari luar kampung. Kompleks perkampungan ini dilengkapi pula dengan lumbung pangan (Kebo) yang dimiliki oleh setiap keluarga. Agak lebih jauh dari rumah adat tadi berdiri sebuah bangunan kecil (Lewa) sebagai tempat memasak daging hewan-hewan besar dalam rangka pesta atau upacara adat.

Di depan rumah adat tadi ditancapkan sebuah tonggak kayu (saga) yang tingginya sama dengan lantai Sao Roa. Di atas tonggak kayu itu ditaruh sebuah batu ceper bulat tempat, menaruh persembahan sirih-pinang bagi Du'a Ngga'e. Di depan Sao Ria dan Kedha ada pelataran bunder yang dikelilingi pagar batu. Di tengah pelataran itu ada pula dua buah batu. Batu yang berdiri tegak di sebut Tugu Musu yang melambangkan hubungan langit dan bumi. Di sampingnya terletak batu ceper yang disebut Musu Mase yang merupakan tempat menaruh persembahan bagi nenek moyang. Di tengah pelataran itu terdapat pula sebuah kuburan khusus bagi Ine Ame atau kepala adat selama menanti dimasukkan ke dalam peti yang tetap yang disebut Bhaku. Keseluruhan pelataran ini dianggap sebagai tempat suci.

Pada masa-masa yang lebih akhir ini pola perkampungan orang Lio sudah mulai berubah yang ditandai dengan berdirinya bangunan rumah dengan arsitektur baru karena pengaruh luar. Kecenderungan tidak lagi mendirikan rumah dengan arsitektur tradisional dengan alasan biaya pembangunannya yang lebih mahal dibandingkan dengan rumah model baru. Pembangunan rumah tradisional itu harus diiringi dengan upacara-upacara yang membutuhkan biaya. Di pihak lain Pemda setempat menghimbau masyarakat untuk tetap mempertahankan arsitektur tradisional itu untuk kepentingan pariwisata, misalnya di Moni sebagai pusat wisata di sekitar Kelimutu.

Kelompok sosial yang sangat penting dalam masyarakat Lio ialah apa yang disebut "suku". Kelompok ini dikatakan mewujudkan struktur piramidal, yang dipuncaknya duduk kepala suku yang secara turun temurun dijabat oleh anak laki-laki sulung.  Ia berstatus dan bertindak sebagai "orang tua" (Ine Ame) dan disebut pula sebagai "ahli waris" (Teke Ria Fai Nggae). Warga suku yang masih seketurunan dengan Laki Ine Ame dinamakan Aji Ana, artinya sama dengan adik dan anak. Selanjutnya warga yang tinggal dalam kampung itu, namun tidak ada hubungan kerabat dengan kepala suku tadi disebut Fai Walu. Warga semacam ini tidak mendapat warisan yang berasal dari nenek moyang suku, akan tetapi bila ia berjasa terhadap suku akan diberi imbalan tertentu.

Dalam hal perkawinan, rupanya dapat kawin antara orang dalam satu suku atau mencari jodoh keluar dari sukunya. Kawin dalam satu suku dan pasangan orang yang berbeda suku telah menyebabkan adanya perbedaan etika adat pergaulan antara kerabat tertentu. Seorang laki-laki yang kawin dengan wanita sesuku menyebabkan laki-laki itu mweujudkan hubungan sungkan (avoidance relationship) dengan mertua perempuannya. Adat sopan santun pergaulan yang bersifat sungkan dengan mertua perempuan ini disebut wajib leu artinya "wajib menyingkir". Adat ini meliputi pantang menyebut nama, pantang melihat rupa dan bersentuhan secara fisik dengan calon ibu mertua atau sesudah menjadi ibu mertua. Adat ini timbul setelah adanya pelanggaran incest antara seorang laki-laki yang kematian isteri dengan mertuanya, dimana pelanggaran itu ada di dalam ceritera rakyat orang Lio itu.

Dalam hal kepemimpinan suku dikenal beberapa unsur. Selain kepala suku tersebut diatas ada unsur Ata Laki yang berperanan sebagai pengawal atau penjaga tanah, berperan dalam menyelenggarakan upacara adat yang berhubungan dengan pertanian dan siklus hidup manusia. Ria Bewa adalah orang yang berperan sebagai penjaga berfungsinya hukum adat, sebagai hakim yang menyelesaikan berbagai perkara terutama yang menyangkut masalah tanah. Ia juga berperan sebagai panglima perang yang menjaga batas tanah suku yang dipertahankan dari gangguan musuh. Kepemimpinan adat yang merupakan sebuah dewan yang bertanggung jawab atas keutuhan dan kesejahteraan masyarakat Lio itu disebut Mosalaki.

Dalam kehidupan sosial, mereka mengenal sejumlah nilai, seperti tolong-menolong (rapa laka atau poa laka) misalnya dalam pembuatan rumah atau mengerjakan kebun. Tolong-menolong dalam bentuk materi sesuai adat, karena ada timbang rasa terwujud dalam rangka kawin-mawin, pesta, kedukaan. Berita duka dinyatakan dengan terdengar bunyi paka bele, yang menyebabkan orang berusaha datang ke rumah duka. Mereka datang dengan sumbangan berupa bahan makanan, hewan sembelihan untuk meringankan beban keluarga yang sedang berduka. Para wanita menyatakan turut bersedih dengan ikut menangisi si mati, dan pada waktu itu segala pertikaian sudah harus selesai agar jiwa si mati pergi dengan tenang.

Mereka pun menjunjung tinggi sikap ramah-tamah yang terwujud ketika bertemu di jalan atau dalam melayani tamu dirumah. Keharmonisan dalam kehidupan sosial antara lain diwujudkan dalam pesta ubi (ka uwi), yang diselenggarakan setahun sekali untuk memelihara kerukunan antara sesama warga. Kerukunan itu dijalin pula dalam pesta yang menyatakan rasa syukur atas keberhasilan panen (ria nggua), disamping komunikasi antara sesama warga juga dengan leluhur dan kerabat lain yang sudah meninggal.

Leluhur orang Lio telah mewariskan sejumlah tarian yang masih hidup sampai kini, misalnya tarian Gawi, Wanda Pala, Simo Sau, Sanggu Alu, dan Hai Nggaja, Tarian-tarian ini merupakan tarian yang dibawakan secara berkelompok, yang digelar di halaman kampung yang menggambarkan kegembiraan dan keperkasaan orang Lio. Tarian ini mengiringi pesta adat atau dalam menerima tamu.

Orang Lio pun mengembangkan seni pahat dan arsitektur lewat rumah adat Sao Ria yang khas, dengan relief pada dinding-dindingnya. Mereka mengaktifkan diri dalam seni patung, seperti Ana Deo, yang dikeramatkan sebagai penunggu rumah adat. Kaum wanitanya menghasilkan tenunan tradisional dengan motif-motif khas pada kain sarung, selimut, selendang. Tenunan ini semula ditenun untuk kebutuhan di lingkungan sendiri, tapi kini sudah melayani permintaan pasar.

Agama dan Kepercayaan Suku Lio

Sistem kepercayaan dari leluhur masyarakat Lio mengenal kekuasaan tertinggi yang menciptakan alam dan manusia, bernama Ndu'a Ngga'e. Ndu'a Ngga'e ini berarti "Yang tua atau yang berumur, yang berbudi luhur dan murah hati". Nama ini sebenarnya punya sebutan yang panjang : "Du'a Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale Wena Tana, yang berarti "Yang tua, yang tinggal jauh di atas, di balik bulan, berbudi luhur, yang tinggi jauh di bawah di dalam bumi". Kekuasaan tertinggi adalah sesuatu yang tidak kelihatan dan sukar dipahami, namun dapat dialami dalam berbagai peristiwa, seperti kelahiran, kematian, panen yang melimpah, bencana kelaparan, dan lain-lain.

Selain kekuasaan tertinggi tadi, mereka juga percaya kepada adanya roh-roh (Nitu). Roh itu ada yang bersifat baik dan melindungi, misalnya Nitu Dai sebagai roh pelindung rumah; Nitu Nua sebagai roh pelindung kampung; Nitu Ae adalah roh pelindung air dan sungai; Nitu Ngebo adalah roh pelindung hutan. Di samping itu ada roh yang jahat dan merusak, misalnya Nitu Ree roh yang berkeliaran di sekitar perkampungan yang merusak kebun; Nitu Longgo Mbega roh yang suka mencelakakan anak-anak; Ulu Ree adalah roh yang menggoda pria dan wanita agar berbuat zina. Berdasarkan sistem kepercayaan ini mereka melaksanakan berbagai upacara.

Data statistik Kabupaten Ende tahun 1986 menunjukkan bahwa sekitar 70 % dari 217.212 jiwa penduduk Kabupaten ini memeluk agama Katolik. Selebihnya beragama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Namun tidak jelas berapa jumlah orang Lio sendiri yang memeluk agama tersebut.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
 
Baca selengkapnya

Rabu, 12 Oktober 2016

Sejarah Suku Asahan Lengkap

Suku Dunia ~ Asahan, Melayu, atau sering juga disebut orang Batubara, kelompok suku bangsa Melayu yang berdiam di daerah pantai timur Sumatera Utara, terutama disekitar daerah Batubara, Kabupaten Asahan, Kotamadya Tanjung Balai, dan Kabupaten Labuhan Batu.


Pada tahun 1975 jumlah orang Melayu di Kotamadya Tanjung Balai diperkirakan sekitar 32.433 jiwa, sedangkan di Kabupaten Asahan diperkirakan sekitar 640.595. Kini Tanjung Balai berpenduduk 108.202 jiwa dan di Kabupaten Asahan berpenduduk 884.594. Mereka hidup berdampingan dengan berbagai suku bangsa lainnya, misalnya suku bangsa Batak Toba, Mandailing, Minangkabau, dan Jawa.

Diperkirakan orang Melayu Batubara adalah keturunan yang berasal dari pencampuran suku bangsa lain, antara lain orang Batak Toba, Batak Simalungun, dan Angkola-Mandailing. Sebagian beranggapan, mereka berasal dari negeri Pagaruyung, di Sumatera Barat. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari adanya nama-nama negeri di Batubara yang menyerupai atau diambil dari nama yang juga ada di daerah Minangkabau, misalnya Talawi, Tanah Datar, dan Pesisir.

Perbedaan orang Melayu Batubara dengan orang Melayu lainnya terutama dalam penggunaan bahasa. Bahasa Melayu dialek Batubara dapat dikenali dari pengucapan kata yang selalu menggunakan huruf o. Misalnya, kata apo dengan pengucapan huruf o yang berarti apa dalam bahasa Indonesia. Bahasa Melayu di daerah Batubara banyak mendapat pengaruh bahasa Minangkabau, sedangkan yang di Kabupaten Asahan banyak dipengaruhi oleh bahasa Batak. Dibandingkan dengan bahasa Melayu di daerah lainnya, misalnya di daerah Deli dan Langkat, bahasa Melayu Batubara masih tetap bertahan keberadaannya, dan masih sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Orang Melayu Asahan tidak berbeda jauh pola perkampungannya dengan orang Melayu lainnya. Rumah-rumah didirikan mengikuti alur sungai atau tepi pantai. Setiap kampung memiliki sarana peribadatan berupa Masjid atau Surau. Pada masa lalu setiap desa juga memiliki sebuah balai tempat melakukan musyawarah antar warga. Tiap kampung dipimpin oleh datuk atau pawang. Mereka adalah orang yang dihormati. Biasanya mereka diangkat sebagai pengetua, baik dalam urusan adat maupun dalam kehidupan masyarakat. Mereka juga yang mengatur masalah pemakaian tanah pertanian, pemakaian lokasi penangkapan ikan.

Rumah mereka berbentuk panggung bertiang tinggi dengan kolong di bawahnya. Tinggi rumah sekitar 2 meter. Bentuk ini terutama ditemukan pada masyarakat yang tinggal di daerah pantai. Tujuannya untuk menghindari banjir dan gangguan binatang buas. Sesuai dengan kepercayaan masyarakat setempat, rumah-rumah harus didirikan menghadap matahari. Setiap ruangan dalam rumah asli orang Melayu memiliki fungsi tersendiri. Berbeda dengan orang Melayu lainnya, rumah aslinya sudah jarang ditemui, di daerah Batubara masih dapat ditemui beberapa rumah asli orang Melayu yang berbentuk panggung tadi.

Sebagian besar orang Melayu Asahan yang berdiam di tepi pantai bermata pencaharian di bidang perikanan, baik perikanan laut maupun perikanan darat. Daerah pesisir Batubara sangat terkenal dengan hasil lautnya, terutama julukan "kota kerang". Hasil tangkapan mereka biasanya dijual kepada tengkulang-tengkulak, dan sisanya dikonsumsi sendiri atau dijadikan ikan asin. Ada juga yang mengembangkan mata pencaharian di bidang pertanian, dengan tanaman padi, karet, kelapa sawit. Masyarakat yang tinggal di pinggir pantai umumnya berkebun kelapa, yang hasilnya dijadikan kopra. Untuk memperoleh penghasilan tambahan ada pula yang secara sembunyi-sembunyi melakukan pekerjaan menebang hutan dan hasilnya kemudian dijual ke pabrik papan yang ada di sekitar daerah tersebut. Seperti halnya cara penjualan hasil perikanan, dalam menjual hasil pertaniannya orang Batubara lebih banyak tergantung kepada jasa tengkulak.

Jenis mata pencaharian lain yang berkembang pada masyarakat Batubara adalah bertenun, yang dikenal dengan nama kain songket Batubara. Kegiatan bertenun umumnya dilakukan oleh kaum wanita sebagai sumber penghasilan tambahan. Keahlian bertenunan di daerah ini sudah berkembang sejak abad ke-18. Motif hiasannya khas dan warna dasarnya biasanya hijau tua dan biru tua. Sampai sekarang, bertenun merupakan salah satu jenis mata pencaharian yang masih bertahan di daerah ini. Pekerjaan lain yang umumnya juga dilakukan oleh kaum wanita adalah penganyam tikar, yang mereka pelajari dari pendatang-pendatang Cina yang masuk ke daerah ini sekitar 300 tahun lalu.

Berbeda dengan kelompok orang Melayu lainnya, orang Melayu Asahan menarik garis keturunannya menurut garis ibu (matrilineal). Hal ini merupakan pengaruh dari kebudayaan Minangkabau yang sangat kuat pada masyarakat ini. Adat menetap sesudah nikahnya cenderung di lingkungan kediaman kerabat pihak istri (matrilokal). Setelah pasangan ini memiliki satu atau dua orang anak, mereka biasanya pindah ke kediaman yang baru (neolokal). Keluarga batih dalam masyarakat Batubara merupakan kelompok yang berdiri sendiri.

Dalam masyarakat ini juga dikenal kelompok kekerabatan yang merasakan dirinya berasal dari seorang nenek moyang dan merasa terikat melalui garis keturunan laki-laki (patrilineal). Di kalangan orang Batubara kelompok semacam ini yang masih bertahan adalah kelompok yang berorientasi pada nenek moyang yang bernama "Bandar Rahmat". Anggota kelompok ini masih saling mengenal satu sama lain berdasarkan silsilah (tarombo) yang berpusat pada Bandar Rahmat. Anggota-anggota kelompok secara teratur bertemu pada waktu tertentu, misalnya dalam acara pengajian yang dilaksanakan secara bergiliran diantara anggota. Walaupun mereka sudah menetap di berbagai daerah, ikatan kelompok ini masih bertahan, karena di daerah-daerah baru tersebut, mereka tetap meneruskan pembentukan kelompok ini.

Sebagian besar masyarakat Batubara memeluk agama Islam. Kesenian orang Melayu Asahan tidak berbeda jauh dengan kesenian Melayu lainnya. Bentuk-bentuk kesenian mereka sebagian besar dipengaruhi oleh unsur agama Islam.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Rabu, 07 September 2016

Sejarah Suku Flores Lengkap

Suku Dunia ~ Orang Flores meliputi 10 suku bangsa yang berdiam di Pulau Flores, pulau nomor dua terbesar di kawasan pulau-pulau Nusa Tenggara Timur yang memanjang dari barat ke timur. Secara administratif Pulau Flores beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya terbagi atas lima wilayah kabupaten yaitu Manggarai, Ngada, Ende, sikka, dan Flores Timur.


Kabupaten Manggarai dengan itu kota Ruteng terdiri atas 10 kecamatan, yang seluruhnya didiami oleh suku bangsa Manggarai sebagai suku bangsa asal. Sebagian Kecamatan Komodo, satu di antara 10 kecamatan itu, berada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Kedua pulau ini pun didiami oleh orang Manggarai.

Kabupaten Ngada dengan ibu kota Bajawa terdiri atas delapan kecamatan. Kabupaten ini merupakan wilayah asal tiga suku bangsa Riung berdiam di kecamatan Riung. Suku bangsa Bajawa berdiam di tiga buah kecamatan, yaitu Bajawa, Aimere, dan Mogomangulewa. Suku bangsa Nagekeo berdiam di empat kecamatan, yaitu Kecaesesa, Boawae, Mauponggo, dan Nangaroro.

Kabupaten Ende dengan ibu kota Ende terdiri atas enam kecamatan. Kabupaten ini merupakan wilayah asal dua suku bangsa, yaitu suku bangsa Ende dan suku bangsa Lio. Suku bangsa Ende mendiami kecamatan Ende dan Kecamatan Nangapanda. Suku bangsa Lio mendiami empat kecamatan yaitu Detusoko, Ndona, Wolowaru, dan Mangekoba. Sebenarnya daerah asal orang Lio adalah kecamatan Paga, yang termasuk wilayah Kabupaten Sikka.

Kabupaten Sikka dengan ibu kota Maumere terdiri atas tujuh kecamatan. Kabupaten ini merupakan wilayah asal lima suku bangsa, yaitu suku bangsa Krowe, Sikka, Sikka-Krowe, Rote, dan Lio. Suku bangsa Krowe mendiami kecamatan Lela. Suku bangsa Sikka-Krowe mendiami kecamatan Maumere dan Bola. Suku bangsa Rote mendiami sebagian wilayah Kecamatan Talibura.

Kabupaten Flores Timur dengan ibu kota Larantuka sebenarnya terdiri atas 13 kecamatan, namun kecamatan yang berada di Pulau Flores hanya tiga buah, yaitu Walanggitang, Larantuka, dan Tanjung Bunga. Kecamatan lainnya berada di Pulau Adonara, Solor dan Lomblem. Ketiga kecamatan yang terletak di ujung timur Pulau Flores ini merupakan wilayah asal suku bangsa Lamaholot. Orang Lamaholot juga mendiami dua kecamatan di Pulau Adonara dan dua kecamatan di Pulau Solor.

Anggota kesepuluh suku bangsa yang ada di Pulau Flores ini biasa pula menyebut dirinya orang Flores. Hal ini biasanya terjadi apabila mereka sedang berada di luar Pulau Flores. Akan tetapi, kalau sedang berada di Pulau Flores, mereka lebih menampilkan identitas suku bangsa sendiri, dengan menyebut diri orang Lio, Sikka, Manggarai, dan sebagainya.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Minggu, 14 Agustus 2016

Sejarah Suku Mandailing Lengkap

Suku Dunia ~ Mandailing adalah salah satu sub kelompok dari suku bangsa Batak yang daerah asalnya termasuk dalam Provinsi Sumatera Utara. Orang Mandailing punya daerah asal yang lebih khusus, yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Tapanuli Selatan terbagi atas 20 kecamatan, yaitu kecamatan Barumun, Barumun Tengah, Batangangkola, Batangnatal, Batangtoru, Dolok, Kotanopan, Muarasipongi, Natal Padangbolak, Padang Sidempuan Barat, Padan Sidempuan Selatan, Padang Sidempuan Timur, Padang Sidempuan Utara, Panyabungan, Sampatdolokhole, Siabu, Sipirok, Sosa, Sosopan.

Lingkungan Hidup Suku Mandailing

Wilayah dan topografinya terdiri dari dataran tinggi dan dataran rendah, dan bagian sebelah barat berbatasan dengan Lautan Hindia. Di lautan itu termasuk beberapa pulau yang menjadi bagian wilayah Kabupaten ini. Daratannya ditandai cuatan sejumlah gunung, mengalir banyak sungai dan ada pula sejumlah danau. Alamnya juga mengandung macam-macam barang tambang. Hutan masih cukup luas, terdiri dari hutan produksi, hutan lindung dan hutan cagar alam.

Di tengah alam yang demikian, sebagian besar warganya hidup dengan mata pencaharian pertanian, sawah dan ladang. Mereka juga bertanam jagung, kacang hijau, kacang tanah, kacang kedelai, sayur-mayur, dan buah-buahan. Sektor perkebunan menghasilkan karet, kopi, coklat, kelapa, kelapa sawit, nilam, jambu mete, dan lain-lain.

Penduduk Suku Mandailing

Jumlah orang Mandailing tidak dapat diketahui secara pasti. Sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar 954.332. Dalam jumlah tersebut di perkirakan, orang Mandailing merupakan yang terbesar, karena dalam wilayah ini tentu terdapat pula kelompok-kelompok dengan latar belakang etnik atau budaya lain.

Sejak dari zaman Belanda, orang Mandailing sudah mulai banyak yang pergi merantau, lebih banyak dari sub kelompok Batak yang berasal dari bagian utara. Faktor penunjang merantau ini adalah karena mereka sudah lebih awal mendapat kesempatan memperoleh pendidikan formal. faktor lain yang mendorong adalah faktor budaya, mereka melihat tanah yang diperoleh dirantau merupakan perluasan dari tanah yang ada di kampung halaman.

Pola Perkampungan Suku Mandailing

Mereka yang berdiam di pegunungan di sela-sela pegunungan Bukit Barisan di sebut Mandailing Julu, sedangkan yang berdiam di dataran rendah disebut Mandailing Godang. Yang bermukim di kampung-kampung atau dea (huta) umumnya mendiami rumah-rumah (bagas) tradisional. Rumah adat disebut  bagas godang. Sebagai kediaman kepala kampung, sebuah desa biasanya mempunyai balai desa dan sopo godang, tempat melaksanakan pertemuan atau musyawarah.

Dahulu, wilayah kampung (huta) tidak terlalu luas, sehingga kini sebuah desa merupakan gabungan dari beberapa kampung. Oleh sebab itu sebuah desa memiliki beberapa rumah adat. Sebuah huta di masa lalu itu di huni oleh kelompok-kelompok kerabat yang terdiri dari kelompok yang mewakili unsur dalihan na tolu.

Kehidupan Suku Mandailing

Kelahiran anak merupakan satu peristiwa penting. Menurut adat, orang yang pertama menjenguknya adalah mora atau pihak ibunya, kemudian baru disusul pihak kelompok anak boru, yakni kelompok "penerima wanita". Pihak mora tadi biasanya membawa makanan khas, berupa nasi bungkus dengan tiga butir telur dengan sedikit garam.

Selanjutnya, rentang kehidupan anak ini masih saja diliputi aturan adat dan kebiasaan lainnya. Ketika sang bayi sudah mulai kuat ia dibawah ke rumah mora untuk menerima "kaing penggendong" (parompa sadun) dengan tata cara tertentu pula. Pada waktunya, seorang anak di haruskan mempelajari aksara Batak, dan setelah masuk Islam belajar bahasa Arab di surau.

Daur hidup lainnya yang penting ialah perkawinan. Mereka berpegang pada adat eksogami marga dalam hal pemilihan jodoh. Pasangan yang ideal bagi seorang adalah anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya (tulang). Anak perempuan itu disebut boru tulang, sedangkan laki-laki itu disebut oleh anak perempuan dengan istilah anak namboru. itulah sebabnya sejak kecil seorang anak laki-laki sudah dibudayakan untuk menghormati tulangnya itu.

Baca Juga :
  • Sejarah Suku Batak
  • Sejarah Suku Batak Angkola
  • Sejarah Suku Melayu Langkat
  • Sejarah Suku Minangkabau
  • Suku-Suku Di Sumatera Utara
Upacara perkawinan mempunyai kaitan penting dengan unsur-unsur dari dalihan na tolu tadi. Unsur-unsur itu adalah kelompok kerabat sendiri (kahanggi), kelompok kerabat pemberi wanita (mora) dan kelompok kerabat penerima wanita (anak boru). Berbagai tata cara dilaksanakan dalam upacara perkawinan ini dengan berbagai hak dan kewajiban dari kelompok-kelompok kerabat tadi.

Orang Mandailing pernah mengenal suatu adat sehubungan dengan kematian. Apabila yang meninggal itu berusia lanjut dan yang dihormati masyarakat, upacara biasanya dilaksanakan secara lengkap (pasidung ari). Upacara ini biasanya menelan biaya yang besar. Biasa itu biasanya ditanggung oleh keluarga, kahanggi, dan anak boru.

Agama dan Kepercayaan Suku Mandailing

Orang Mandailing umumnya beragama Islam. Ajaran agama Islam ini konon masuknya melalui Minangkabau (Sumatera Barat). Orang Mandailing adalah pemeluk agama Islam yang taat, sehingga unsur-unsur kepercayaan leluhur (permalin) menjadi tergeser atau hampir tidak ada lagi.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Selasa, 09 Agustus 2016

Sejarah Suku Lintang Lengkap

Suku Dunia ~ Lintang adalah satu kelompok sosial yang berdiam di sekitar Sungai Lintang, yaitu Sungai Lintang Kiri dan Sungai Lintang Kanan, di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Nama daerah Lintang diberikan karena Sungai Lintang terletak melintang di alur Sungai Musi. Penduduk setempat menyebut diri mereka jemo Lintang, yang artinya "orang Lintang". Menurut cerita rakyat, nenek moyang orang Lintang yang pertama kali membangun dusun di daerah tersebut berasa dari luar dan masuk ke daerah tersebut melalui Sungai Musi.


Daerah kediaman mereka disebut wilayah Lintang Empat Lawang, yang meliputi empat kecamatan, yaitu Kecamatan Ulu Musi dengan ibu kotanya Padang Tepong, Kecamatan Pendopo dengan ibu kotanya Pendopo, Kecamatan Muara Inang dengan ibu kotanya Muara Pinang, dan Kecamatan Tebing Tinggi dengan ibu kotanya Tebing Tinggi. Nama Lintang Empat Lawang muncul dengan adanya keyakinan masyarakat bahwa mereka diturunkan oleh nenek moyang yang berasal dari empat lawangan (pahlawan) dari dusun yang berbeda-beda, yaitu (1) lawangan dari dusun Batu Pance; (2) lawangan dari dusun Tanjung Raya; (3) lawangan dari dusun Muara Tandi yang sekarang disebut Muara Danau; (4) lawangan dari dusun Lubuk Puding.

Orang Lintang menggunakan bahasa Lintang (baso Lintang), yang terdiri atas dua dialek, yaitu dialek o dan dialek e. Dialek o digunakan di Kecamatan Ulu Musi, Pendopo, dan Muara Pinang. Dialek e digunakan di Kecamatan Tebing Tinggi, dan beberapa dusun di Kecamatan Ulu Musi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatra Selatan pada tahun 1986, jumlah penutur bahasa Lintang di wilayah ini diperkirakan sekitar 181.206 jiwa. Secara khusus, jumlah penutur bahasa Lintang dialek o diperkirakan berjumlah 125.785 jiwa. Di daerah ini orang Lintang hidup berbaur dengan masyarakat suku bangsa lain, misalnya dengan suku bangsa Jawa di daerah Pasemah Air Keruh di Kecamatan Ulu Musi, suku bangsa Minangkabau di Kecamatan Pendopo, atau suku bangsa Melayu Palembang di Kecamatan Muaro Pinang.

Perkembangan atau dusun orang Lintang umumnya dirikan mengelompok di tepi sungai. Sejak masuknya pemerintah Belanda, dusun-dusun orang Lintang mulai pindah ke tepi-tepi jalan raya. Mata pencaharian pokoknya adalah bertani, terutama menanam padu di sawah. Tanaman pokok lainnya adalah kopi yang tumbuh subur di daerah tersebut. Hasil kopi dari daerah ini sejak jaman Belanda sudah menjadi salah satu komoditi ekspor. Dalam berkebun kopi biasanya orang Lintang melakukannya dengan cara membuka areal hutan yang terdapat di sekitar mereka. Mata pencaharian lainnya adalah berkebun kelapa dan buah-buahan, beternak dan berdagang. Mereka juga menangkap ikan di sekitar sungai-sungai yang terdapat di lingkungan tempat tinggal mereka.

Masyarakat Lintang terbagi atas kelompok-kelompok marga. Di daerah Lintang Empat Lawang terdapat sekitar 13 marga dan 120 dusun. Pemimpin sebuah marga disebut Pasirah atau Depati, yang kedudukannya dalam struktur pemerintah sekarang berada di bawah camat. Pada masa lalu seorang pasirah sering kali diberi gelar tertentu, misalnya gelar Pangeran. Sebagai pemimpin adat, seorang pasirah bertanggung jawab memimpin dan melindungi warga marganya. Dalam melaksanakan tugasnya seorang Pasirah dibantu oleh para Pamong Marga, yang terdiri atas: juru tulis marga yang bertugas dalam hal administrasi, gindo atau pembarap, yaitu kepala dusun, penggawo yaitu pembantu kepala dusun dalam melaksanakan tugas sehari-hari, penghulu atau khatib yang bertugas dalam hal keagamaan.

Secara keseluruhan sistem kehidupan orang Lintang berorientasi pada suatu tatanan hukum adat yang sudah berlaku di daerah pedalaman Sumatera Selatan sejak zaman Kesultanan Palembang, yang tercakup dalam kitab Undang-Undang Simbur Cahaya. Walaupun sejak jaman kemerdekaan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi, masyarakat masih mempertahankan norma-norma yang terkandung di dalamnya, termasuk sanksi-sanksi untuk perbuatan yang melanggar adat. Di kalangan masyarakat berkembang suatu sistem tolong-menolong yang diterapkan pada berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem gotong-royong, misalnya, dilaksanakan dalam peristiwa kematian (petolong), menanam padi (ngersayo-betanam padi), mendirikan rumah (ngersayongakkan uma), dan sebagainya.

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang dianggap penting dalam masyarakat Lintang. Menurut anggapan mereka, seseorang dapat dikatakan berhasil dalam hidup bila semua anaknya telah membentuk rumah tangga sendiri-sendiri yang terpisah dari rumah orang tuanya. Suatu perkawinan diawali dengan peminangan calon mempelai wanita oleh keluarga laki-laki, yang diiringi dengan proses tawar-menawar besarnya biaya perkawinan yang harus diberikan oleh pihak laki-laki.

Pada saat itu pula ditentukan tempat tinggal kedua mempelai sesudah menikah. Ada lima kemungkinan tempat tinggal sesudah nikah yang umum berlaku pada masyarakat Lintang, yaitu (1) rasan bejujur, artinya mempelai wanita bertempat tinggal dan ikut kelompok suaminya (patrilokal); (2) rasan tambik anak teguh, artinya mempelai laki-laki bertempat tinggal dan ikut kelompok istrinya (matrilokal); (3) rasan tambik anak tungguan duo, artinya pasangan pengantin baru bebas memilih apakah si suami ikut ke kelompok istrinya atau sebaliknya, istri ikut kelompok suaminya (utrolokal); (4) rasan tambik anak ngantat, artinya untuk jangka waktu tertentu suami bertempat tinggal di kelompok istrinya (matrilokal), baru kemudian pindah ke kediaman yang sama sekali baru (neolokal); (5) rasan tambik anak belapik duit, hampir sama dengan no (4), yaitu mula-mula di kediaman kelompok istri, baru kemudian bebas memilih tempat tinggal yang baru. Kini umumnya orang Lintang yang baru menikah memilih untuk menetap di kediaman yang sama sekali baru (neolokal).

Gabungan keluarga batih membentuk suatu keluarga luas utrolokal yang disebut peranakan. Kelompok-kelompok peranakan membentuk kelompok yang lebih besar, yang disebut rugoek-kampoeh. Kelompok rugoek-kampoeh biasanya saling berhubungan dalam berbagai kegiatan, misalnya dalam upacara perkawinan, kegiatan di sawah dan sebagainya.

Orang Lintang umumnya adalah pemeluk agama Islam. Yang berperan dalam urusan keagamaan ini adalah seorang penghulu yang bertanggung jawab pada tingkat marga dan seorang khatib yang bertanggung jawab pada tingkat dusun. Pengaruh agama Islam juga terlihat dalam bentuk-bentuk kesenian orang Lintang, diantaranya kesenian rebana, jidor, dan berbagai tari-tarian. Bentuk kesenian lainnya yang masih berkembang dengan baik adalah tradisi sastra lisan, seperti pantun, jampi, memoneng, rejung, andai-andai, karnasian, dan sebagainya.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Senin, 01 Agustus 2016

Sejarah Suku Lara Lengkap

Suku Dunia ~ Lara salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak dan Kabupaten Sambas. Di Kabupaten Sambas mereka paling tidak berdiam dalam lima kecamatan, yaitu kecamatan Bengkayang, Ledo, Sanggau, sejangkung, dan Seluas. Pada tahun 1974 orang Lara yang berdiam di Pontianak berjumlah 7.123 jiwa dan di Kabupaten Sambas berjumlah 33.665 jiwa. Sumber tertentu menyebutkan bahwa orang Lara ini merupakan sub kelompok dari Dayak Kendayan.
Ilustrasi Suku Dayak Lara
Gambaran umum tentang orang Dayak Lara ini kiranya dapat dikenali dari suatu hasil penelitian Tim Survey Direktorat Pembinaan masyarakat Terasing, Suku Dayak Manyuke & Lara di Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (1975). Kecamatan Bengkawang terletak di sebelah timur kota Singkawang. Jarak antara Singkawang Bengkayang, ibu kota Kecamatan, sekitar tiga jam dengan kendaraan bermotor melalui jalan raya yang sudah beraspal baik. Ibu kota kecamatan ini sudah dilengkapi sarana ekonomi berupa pasar yang tersedia berbagai bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Pasar ini sebagian besar diisi oleh pedagang keturunan Cina. Sebaliknya prasarana jalan ke desa-desa atau kampung-kampung terpencil harus ditempuh melalui jalan setapak.

Dalam kecamatan Bengkayang itu, orang Lara terbagi atas beberapa kelompok yang berlatar belakang pengelompokan adat, yang disebut benua. Setiap benua dipimpin oleh seorang kepala adat. Pengelompokan dengan latar belakang adat di kecamatan ini adalah Benua Seburuk, Benua Sebetung, Benua Sebetung Menyala, Benua Teriak, dan Benua Palayo. Setiap benua itu masih terbagi atas beberapa kampung atau kepala desa yang diangkat secara formal yang berkedudukan di bawah Camat. Kampung yang sudah resmi tercatat di kantor Kecamatan sebanyak 15 buah, namun secara dengan keseluruhan ada sekitar 30 kampung. Jumlah penduduk kampung atau anak kampung ini bervariasi antara 70-an jiwa sampai mendekati 600 jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari kepala Benua lebih berpengaruh dibandingkan dengan kepala kampung. Lebih-lebih dalam hal-hal yang menyangkut dengan adat kepala kampung tidak mempunyai kekuasaan. Bagi Camat kedua pemimpin sama-sama diakui sesuai dengan peranannya masing-masing.

Mata Pencaharian Suku Lara

Di tengah lingkungan alam yang umumnya ditutupi oleh hutan, mereka bermata pencaharian dengan bercocok tanam di ladang, ternak, kebun, menangkap ikan, dan mencari hasil hutan. Perladangan merupakan ladang berpindah yang umumnya untuk satu kali musim tanam. Satu keluarga umumnya mengerjakan satu hektar dengan padi sebagai tanaman pokok. Selain padi mereka juga menanam singkong, jagung, pisang, kacang tanah, ubi rambat. Singkong itu dipanen ketika mereka perlukan untuk makanan tambahan, sedang yang lain digunakan untuk makanan babi.

Ternak yang umum dipelihara adalah babi, karena pemeliharaannya mudah, jarang kena penyakit dan harganya mahal. Anjing mereka kembangbiakkan adalah untuk kepentingan upacara adat. Anjing disembelih dalam rangka upacara menanam padi, upacara penguburan, dan lain-lain. Hampir setiap keluarga memelihara ayam dan sebagian anggota masyarakat juga memelihara itik.

Sejak lama masyarakat ini telah mengenal tanaman karet. Sebagian besar keluarga masyarakat ini memiliki kebun karet dengan 300 - 500 pohon. Namun gairah mereka mengusahakan kebun karet sering merosot karena harga yang tidak stabil. Banyak kebun yang terbengkalai atau ditebangi untuk dijadikan ladang padi, karena biaya menyadap, pangasapan dan pengangkutan yang mahal. Tanaman kebun yang lain ialah lada dan nanas. Meskipun harga lada cukup tinggi, namun mereka belum memiliki kemampuan teknis dan biaya untuk pengusahaan tanaman lada ini. Mata pencaharian sambilan adalah berburu dan mencari hasil hutan. Binatang buruan adalah kijang, rusa, dan babi hutan. Hasil hutan yang diramu adalah tengkawang, rotan, dan lain-lain.

Rumah kediaman orang Lara ada yang berupa rumah panggung dan ada yang merapat ke tanah. Ukuran rumahnya tidak seragam, misalnya 6 x 8 meter atau 6 x 12 meter. Bahan tiang ada yang persegi dan ada yang bulat yang dengan mudah diperoleh dari lingkungan sekitar. Sebagian rumah berdinding papan dan sebagian lain dari kulit kayu dengan atap umumnya rumbia. Rumah itu berpintu dua buah yang ada di bagian depan dan bagian belakang, namun tanpa jendela sehingga ruang dalam rumah itu tampak gelap. Sebagian rumah tanpa kamar dan sebagian lainnya punya kamar. Tempat tidur dibuatkan balai-balai dengan alas tikar dari daun pandan.

Perabot rumah tangga tampak, sebagian dari mereka telah memiliki kursi, meja dan lemari. Alat-alat rumah tangga yang mereka miliki berupa periuk, belanga, panci, piring, gelas, ketel dan lain-lain yang mereka beli dari pasar. Wadah-wadah tertentu mereka buat sendiri, misalnya wadah anyaman bambu untuk mengangkut padi yang disebut asung. Wadah anyaman bambu yang lebih besar digunakan untuk menyimpan padi dalam rumah disebut olo. Alat untuk mengangkut kayu terbuat dari rotan dengan cara menggendong disebut rancang. Sekarang mereka telah memakai pakaian seperti yang umum dipakai di tempat lain, mereka sudah lama meninggalkan pakaian seperti cawat. Para wanita Lara gemar akan perhiasan yang terbuat dari emas dan batu-batuan. Perhiasan yang dipakai adalah anting, cincin, gelang, dan kalung. Sebagian dari mereka juga memasang gigi emas.

Agama dan Kepercayaan Suku Lara

Mereka telah menganut agama seperti agama Katolik. Namun, mereka masih percaya terhadap kekuatan gaib yang ada pada benda-benda tertentu atau yang menghuni tempat tertentu. Roh-roh orang yang telah meninggal dipercayai masih ada di sekitar kediaman mereka, yang kadang-kadang akan datang mengganggu. Oleh sebab itu sewaktu-waktu mereka menyediakan sajian yang diletakkan di sekitar batu besar, kayu besar, sungai, atau persimpangan jalan.

Mereka juga banyak melakukan upacara, misalnya upacara begawi. Upacara ini merupakan upacara syukuran setelah panen. Dalam upacara ini mereka mempersembahkan sajian antara lain berupa darah anjing yang ditaburkan di tempat tertentu. Selain itu dipersembahkan ayam dan babi beserta darahnya, nasi pulut (lemang), kue-kue yang terbuat dari beras. Upacara itu disertai pula tepung tawar berupa air bunga, sobekan kain warna-warni, dan pembakaran kemenyan. Upacara ini dimaksudkan agar mereka mendapat hasil yang cukup pada panen berikutnya, warga kampung itu mendapat perlindungan dari gangguan setan dan penyakit. Upacara ini dilaksanakan oleh warga satu kampung dan dipimpin oleh kepala adat.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Selasa, 26 Juli 2016

Sejarah Suku Lauje Lengkap

Suku Dunia ~ Lauje adalah suku bangsa yang antara lain berdiam di wilayah kecamatan Tomini, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam penelitian lapangan tentang sistem budaya masyarakat terasing di Sulawesi Tengah yang dilakukan oleh Anrini Sofion dan Tri Choesianto (1986), orang Lauje diperkirakan tidak hanya berdiam di Kecamatan lain dalam kabupaten Donggala, bahkan ada pula yang berdiam di wilayah Kabupaten Poso dan Luwu Banggai. Jumlah orang Lauje di wilayah Kecamatan Tomini, yang seluruh penduduknya berjumlah 37.032 jiwa pada tahun 1984, tidak lagi diketahui secara pasti. Di Kecamatan ini mereka sebagian berdiam di sekitar pantai Teluk Tomini dan lainnya di daerah pegunungan.

Ciri Fisik Orang Lauje

Dalam laporan penelitian tersebut diatas dapat diketahui ciri-ciri fisik orang Lauje, antara lain, tinggi tubuh kaum prianya rata-rata 160 sentimeter, dan kaum wanita 150-155 sentimeter. Warna kulitnya Sawo matang sampai kehitam-hitaman. Rambutnya sebagian lurus dan sebagian berombak dengan warna agak kemerah-merahan. Rongga mata agak cekung ke dalam dengan warna mata hitam. Sayap dan lubang hidung agak lebar. Bentuk mulut lebar dan bibir tebal. Gigi tampak besar dan kuat pada rahang yang besar.

Pola Perkampungan suku Lauje

Pola pemukiman orang Lauje di daerah pegunungan berbeda dengan yang tinggal di daerah pantai. Di daerah pegunungan mereka mendiami rumah di tengah ladang masing-masing, yang jaraknya satu sama lain mencapai satu kilometer. Rumah itu boleh dikatakan bukan rumah tetap, karena kalau keadaan tanah perladangannya sudah tidak subur, mereka akan pindah dan membuat rumah baru lagi. Rumah itu terbuat dari bahan kayu dengan atap rumbia atau daun kelapa. Rumah panggung itu terkadang tidak terdinding, karena atapnya langsung sampai ke tanah. Bagian dalam tidak mengenal pembagian ruangan, dan disitulah mereka bekerja, makan, dan tidur. Rumah orang Lauje di daerah pantai tampak mengelompok padat dan berjejer menghadap jalan. Disini rumah panggung yang terbuat dari bahan yang sama seperti di pegunungan sudah mengenal pembagian ruangan karena pengaruh dari luar.

Mata Pencaharian Suku Lauje

Mata pencaharian pokok mereka adalah bercocok tanam di ladang yang masih berpindah-pindah, dengan tanaman utama padi dan jagung. Selain itu mereka juga menanam sayur-sayuran. Akhir-akhir ini mereka sudah mulai menanam cengkeh dan bawang putih. Orang Lauje di daerah pantai juga menanam singkong, ubi jalar, pisang, pepaya, mangga liar, dan sayur-mayur di sekitar pekarangan. Jenis mata pencaharian sambilan lain adalah mencari rotan, damar, kemiri, membuat kerajinan tangan, berburu, dan beternak. Pada musim paceklik mereka biasanya makan ubi jalar (unggayu), ubi hutan atau gadung (ondot) yang tumbuh liar di hutan.

Dalam rangka bertanam padi di ladang, mereka mempunyai suatu pola kegiatan dengan kepercayaan dan upacara tertentu. Pertama-tama mereka mengukur tanah yang akan dijadikan ladang yang luasnya sesuai dengan kemampuan untuk mengerjakannya. Setelah melakukan pengukuran untuk mengerjakannya. Setelah melakukan pengukuran, mereka meletakkan sesaji yang ditujukan kepada roh tanah (Togu Ptu') sebagai permintaan izin. Izin itu ditunggu lewat mimpi selama dua atau tiga hari. Dalam mimpi itu juga diberikan isyarat berapa lama boleh menggarap tanah tersebut. Setelah ada izin, barulah pohon-pohon di areal yang sudah diukur itu ditebang. Alat penebangnya kapak (beliung) dan parang (piging). Apabila sudah kering, pohon-pohon dibakar, dengan tujuan memudahkan pembersihannya, menyuburkan tanah, dan mengusir roh jahat yang berdiam di tanah (puang ma petu'). Kemudian mereka bertanam padi dan jagung dengan cara melubangi tanah dengan tugal (suang).

Sebelum masa panen tiba, mereka membersihkan rumput (basube') sebanyak dua kali untuk tanaman padi dan satu kali untuk tanaman jagung. Kegiatan panen baru bisa dilakukan setelah upacara panen dilaksanakan. Upacara itu dipimpin oleh pemuka uacara wanita (madodon). Panen itu dilakukan oleh wanita dengan menggunakan alat ani-ani.

Kekerabatan Suku Lauje

Selain keluarga inti, mereka juga mengenal kelompok kekerabatan keluarga luas. Suatu keluarga luas berdiam dalam satu rumah, namun setiap keluarga inti memiliki dapur sendiri. Gabungan keluarga luas merupakan kelompok yang menyerupai klen patrilineal. Desa Palasa di Kecamatan Tomini terbagi atas 31 kelompok patrilineal. Setiap kelompok berdiam di satu daerah tertentu dengan nama-nama tersendiri yang sama dengan nama gunung atau nama lembah tempat tinggal mereka. Dalam perkawinan mereka mengamalkan adat eksogami kelompok. Para pemuda dibebaskan memilih jodohnya sendiri, meskipun pilihan anak tidak selalu disetujui oleh orang tua. Oleh sebab itu, mereka juga mengenal adat kawin lari.

Terselenggaranya suatu perkawinan didahului oleh beberapa tahap, yaitu pelamaran, penerimaan lamaran, penyerahan mas kawin, dan pernikahan. Lamaran dari pihak pria kepada pihak wanita disampaikan dengan cara mengirim utusan yang membawa piring batu (tolang). Bila pinangan diterima, pihak pria menyiapkan 11 barang pinangan, yaitu sehelai sarung batik (bate'), baju kebaya (kabaya), sepasang gelang (gonge), sepasang anting-anting (anti-anti), jarum (siji'), satu gulung benang jahit (gapase), sisir (sasalange), satu untai peniti (paniti), sebuah cermin (pandangan), bedak (pupure), satu buah kantong kain yang berisi uang sejumlah 100-500 rupiah. Barang lamaran ini diantar oleh kepala adat pihak pria bersama ayah dan saudara sekandung calon mempelai itu. Penerimaan lamaran (tinarimane) oleh pihak wanita ditutup dengan makan bersama.

Penyerahan mas kawin dilaksanakan setelah dua atau tiga minggu lamaran diterima. Penyerahan mas kawin biasanya dilaksanakan pada malam hari, dan hanya boleh dihadiri oleh pria yang telah menikah. Golongan muda-mudi berada di luar rumah, bersuka-ria dengan cara menyanyi dan menari. Penyerahan mas kawin merupakan inti upacara. Mas kawin itu terdiri atas empat tumpukan barang, yaitu satu buah piring batu (sampilubibi) sebagai pembuka kata, satu piring batu (asasala) sebagai pembersih dosa, mas kawin yang sebenarnya (tolang), terdiri atas 12, 10, atau 7 piring baru, sesuai dengan derajat sang gadis, dan pedang yang berisi empat buah piring bat. Upacara pernikahan berlangsung dengan berbagai upacara yang sangat rumit.

Agama dan Kepercayaan Suku Lauje

Pada masa kini, sebagian orang Lauje memeluk agama Kristen dan sebagian lagi memeluk agama Islam. Namun, unsur-unsur sistem kepercayaan lama masih mereka amalkan. Orang Lauje percaya bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama. Salah seorang nenek moyang mereka adalah Yongko Umur, yang kemudian menurunkan Olongian Laki-Laki dan Olongian Perempuan. Olongian laki-laki berdiam dan memerintah di "alam atas" (langit). Ia kemudian dikenal dengan nama Ilah Ta'ala. Olongian perempuan berdiam dan memerintah di "alam bawah" (bawah tanah). Orang Lauje menyebut olongian perempuan dengan nama Nur Ilah. Kedua olongian inilah yang kemudian menurunkan orang Lauje yang ada sekarang.

Di samping kedua olongian tadi, orang Lauje masih percaya kepada beberapa ilah lain yang mempunyai tugas khusus dalam kehidupan manusia di dunia. Pertama, Raja Tongka Alah yang bertugas sebagai perantara antara roh-roh orang yang telah meninggal yang berdiam di langit dan orang yang masih hidup di bumi. Kedua, Puang Ma Petu' yang berdiam di bawah tanah sebagai ilah perusak. Ketiga, Olongian sebagai ilah penyelamat yang berada di mata air. Orang Lauje percaya pula kepada roh-roh halus, yaitu Togu Petu', Togu Ompongan, dan Togu Ogo. Seperti telah disinggung di atas, Togu Petu', yang bertugas menjaga tanah, dianggap sangat menentukan berhasil tidaknya usaha di ladang. Togu Petu', yang bertugas menjaga tanah, dianggap sangat menentukan berhasil tidaknya usaha di ladang. Togu Ompongan adalah roh penguasa hutan yang mengawasi aktivitas manusia di hutan. Togu Ogo adalah roh penjaga air dan penguasa di sungai-sungai. Kepada para roh inilah orang meminta izin bila hendak melakukan aktivitas tertentu di sekitar lingkungan kekuasaannya.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Rabu, 20 Juli 2016

Sejarah Suku Dayak Kantuk Lengkap

Suku Dunia ~ Kantuk adalah salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam dalam wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Dalam Kabupaten tersebut mereka lebih terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Nanga Kantuk, yang berada di sekitar anak-anak sungai di bagian Hulu Sungai Kapuas. Sumber lain menyebutkan bahwa orang Kantuk ini ada pula yang bermukim dalam wilayah Kecamatan Semitau. Lingkungannya merupakan hutan primer dan hutan sekunder.


Orang Dayak Kantuk ini memiliki bahasa tersendiri yaitu bahasa Kantuk. Belum diperoleh informasi berapa jumlah penutur bahasa ini. Bila orang Kantuk bermukim di kedua kecamatan tersebut di atas, maka mereka berada misalnya di antara 4.900 jiwa penduduk Kecamatan Nanga Kantuk dan 9.198 jiwa penduduk Kecamatan Semitau tahun 1982.

Mereka tinggal berkelompok dalam suatu rumah panjang (rumah tegoh). Rumah panjang ini dengan struktur multi keluarga permanen terletak di pusat wilayah pemukiman. Selain itu ada gubuk di ladang yang merupakan tempat tinggal sementara keluarga tunggal, tersebar di seluruh wilayah dekat perladangan masing-masing. Gubuk ladang ini dipakai sekitar dua atau tiga tahun selama masa sibuk, sedangkan rumah panjang dihuni sampai 20 tahun atau lebih, sesudah senggang dengan pekerjaan di ladang. Selain rumah tegoh ada lagi rumah panjang lain yang disebut dampa yang lebih kecil dengan muatan keluarga yang lebih sedikit pula dengan konstruksi yang lebih sederhana.

Rumah panjang orang Kantuk pada keadaan 1976, seperti yang diteliti oleh Dove (1985) di Kulit Tuba, memperlihatkan struktur semacam berikut ini. Rumah ini mempunyai bagian-bagian:
  1. Tempat menjemur yang terbuka sepanjang rumah.
  2. Ruang tertutup, yang juga sepanjang rumah, yang dibagi menjadi jalan pintas dan ruang kerja.
  3. Deretan sembilan bilek sebagai tempat kediaman yang tertutup.
  4. Rangkaian rumah dapur yang dicantolkan pada bagian belakang masing-masing bilek.
  5. Sederetan tempat menyimpan yang dibangun di atas bilek dan ruang di depannya.
Rumah ini mempunyai konstruksi yang baik. Tiang-tiang merupakan kayu yang kokoh dan besar. Tiang tegak lurus dan balok yang mendatar disambung dengan menggunakan pasak. Tempat penjemuran sebagian besar diberi berlantai bambu, tetapi ruang terbuka, bilek, dapur, dan tempat penyimpanan, terbuat dari lantai kayu keras. Dinding bagian dalam terbuat dari kulit kayu yang agak tipis. Atap terbuat dari kayu sirap yang kuat. Pembangunannya memakan waktu dua tahun kerja. Sebagian pembangunan dikerjakan sendiri oleh masing-masing keluarga di bagian yang akan menjadi miliknya dan bahayanya pun sesuai dengan pilihan sendiri. Sebagian pekerjaan yang berat dikerjakan secara bergotong-royong. Meskipun setiap bagian itu menjadi milik dan tanggung jawab keluarga masing-masing, namun ada bagian yang dirawat bersama, misalnya tangga, jembatan ke arah sungai, dan lain-lain.

Dalam rumah panjang itu dikenal adanya tokoh-tokoh yang berperan menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Oleh pemerintah ditentukan adanya kepala kampung dan pembantunya (kebayan). Selain itu ada pun rumah, yaitu keluarga yang memegang tongkat peramal ketika rumah panjang itu dibuat, keluarga paling tua (bilek tua) dan duku (nanang). Namun, orang Kantuk memiliki egalitarisme yang kuat, sehingga wewenang seseorang atau keluarga tertentu relatif kecil. Yang lebih penting adalah wewenang keseluruhan warga rumah panjang itu.

Apabila ada masalah penting atau pertikaian, rapat diadakan di ruang terbuka. Semua pria dewasa wajib datang, para wanita tetap berada dalam bilek masing-masing. Akan tetapi, mereka bisa ikut berpartisipasi dengan meneriakkan pendapat dari bilek atau muncul sejenak ke serambi. Pihak yang bertikai bisa didesak menerima keputusan rapat tetapi keputusan itu tidak dipaksakan. Diantara yang bertikai itu bisa menolak keputusan tersebut, dan mencari penyelesaian dengan cara lain, namun apabila terjadi pelanggaran ritual penting yang dilakukan oleh individu atau keluarga akan ada hukuman dari dewa-dewi bagi keseluruhan rumah panjang itu. Untuk itu pengadilan rumah panjang mengharuskan pihak yang bersalah mengorbankan seekor babi atau lebih kepada dewa-dewi.

Pada masa sekarang ini jumlah rumah panjang itu sudah semakin berkurang. Mereka membuat rumah-rumah tunggal yang dihuni oleh satu rumah tangga. Dengan perubahan ini kita tetap mencatat pendapat sementara ahli (Dove, 1985) yang menyatakan bahwa bentuk dan organisasi rumah panjang mengandung suatu fungsi simbolis dan penting dalam kerja sama ekonomi orang Kantuk. Bagi mereka rumah panjang mencerminkan dan melambangkan ikatan dan kewajiban sosial antar keluarga yang merupakan dasar kerja sama. Kelansungan lambang ini merupakan hal yang amat penting bagi penggalangan kerja sama di antara mereka yang berdiri sendiri.

Ekonomi orang Kantuk merupakan ekonomi ganda. Artinya untuk makan mereka menanam padi dan sayur mayur di ladang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti garam, pakaian, tembakau, minyak tanah, mereka berdagang, menyadap karet dan menanam lada. Berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan hasil hutan merupakan pekerjaan sambilan.

Dalam kegiatan perladangan ada pemakaian tenaga kerja dari luar keluarga. Bantuan itu biasanya diperlukan dalam rangka menebas, menebang, menanam, menyiangi, panen, dan mengangkut hasil panen. Macam kegiatan dalam siklus kerja di ladang yang tidak dimintai bantuan misalnya memilih lokasi, membakar, dan menjaga tanaman. Tenaga kerja dari keluarga lain diperoleh dengan cara yang disebut bertolong. Cara ini tidak mengharapkan balasan atau penggantian dari keluarga satu terhadap keluarga lain, karena tiba-tiba menghadapi suatu pekerjaan berat. Cara berimpoh bersifat saling berbalasan dimana semua keluarga rumah panjang ikut mengerjakan pekerjaan satu keluarga sampai tuntas dan diteruskan pada keluarga yang lain dan seterusnya. Cara ketiga adalah bedurok dimana tenaga kerja itu diganti secara ketat berdasarkan hari kerja. Kompensasi yang lebih ketat lagi ditemukan pada cara bekuli yang imbalannya upah berupa padi atau uang per-hari.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Kamis, 14 Juli 2016

Mengenal Suku Mandobo Lengkap

Suku Dunia ~ Mandobo adalah suku bangsa yang menyebut dirinya Mandub-Wambon, yang berdiam antara sungai Digul dan sungai Kao, yang berada dalam wilayah Kecamatan Mandabo. Kecamatan ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Wilayah kecamatan ini dialiri sungai Mandobo, sebagai cabang dari Sungai Digul yang bermuara di pantai barat daya Kabupaten Merauke. Di bagian timur Kecamatan Mandobo bertautan dengan wilayah Kecamatan Waropko dan Kecamatan Mindip Tana, dimana kedua kecamatan ini langsung berbatasan dengan wilayah negara Papua Nugini.


Wilayah ini tertutup hutan lebat, hampir tidak ada perbedaan antara musim hujan dan musim kering. Di tengah hutan itu terdapat pemukiman-pemukiman kecil yang letaknya terpencar, yang jaraknya berjam-jam perjalanan. Beberapa rumah terdapat di tengah kebun pada sebidang tanah yang hutannya sudah di tebang. Di sana terdapat ladang sagu dan tambak ikan, dan disanalah mereka mencari makan, kayu bakar, bahan bangunan, atau tumbuh-tumbuhan untuk obat.

Nama Mandobo itu diberikan dan disebut oleh orang luar. Jumlah orang Mandobo tidak lagi diketahui secara pasti. Namun, mereka merupakan penduduk terbesar di antara 7.627 jiwa penduduk Kecamatan Mandobo pada tahun 1987, dan pada tahun 1990 menjadi sekitar 8.000 jiwa. Penduduk tersebut tersebar dalam 10 buah desa. Orang Mandobo mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Mandobo. Sementara ahli bahasa menggolongkan bahaa Mandobo, bahasa Muyu dan bahasa Anu menjadi satu kelompok yaitu kelompok bahasa Mandobo.

Baca juga :
Mereka mengembangkan bentuk kebudayaan peralihan antara kebudayaan peramu dan petani. Mereka berdiam antara kediaman orang Awyu sebelah barat sungai Digul dan kediaman orang Muyu di sebelah timur sungai Kao. Kebudayaan Awyu lebih dekat dengan budaya meramu, sedangkan budaya Muyu lebih dekat pada petani.

Mata pencaharian yang utama adalah mengumpulkan sagu dan berburu di hutan, serta menangkap ikan di sungai. Beternak babi merupakan hal yang penting bagi orang Mandobo, karena hasil penjualan babi bisa dipergunakan sebagai uang siput (mas kawin) sewaktu melamar seorang perempuan. Orang Mandobo digolongkan oleh para pengamat sebagai pedagang yang ulung. Nilai benda bergeraj dan tak bergerak, misalnya tanah, wanita, babi, anjing, panah dan busur, jala, dan lain-lain dinyatakan dengan uang siput. Akan tetapi orang berdagang juga dengan bantuan benda-benda seperti kapak dan perhiasan.

Sumber makanan pokok sehari-hari adalah sagu dan juga pisang. Mereka menanam sagu itu dan membiakkan ulat sagu. Di tempat yang kurang baik ditumbuhi sagu, mereka membuka kebun, dan konon disana ada 32 jenis pisang, 10 jenis keladi, 15 jenis kumbili, tebu dan kentang. Penangkapan ikan dilakukan dengan cara membendung dan mengeringkan sungai-sungai kecil atau dengan cara meracuni ikan dengan tuba.

Garis keturunan ditarik pada pihak laki-laki (patrilineal). Kelompok yang terdiri atas seorang ayah, anak-anak, dan beberapa istri seringkali menggabungkan diri dengan keluarga-keluarga lain. Hal ini penting untuk menjaga keamanan kelompok, terutama bila kaum laki-laki pergi berburu atau berdagang. Tugas istri atau wanita mengolah sagu dan ulat sagu untuk dimakan. Hampir setiap laki-laki yang sudah tua mempunyai beberapa orang istri. Maksud pengambilan istri yang lebih dari satu ini adalah untuk kepentingan menambah tenaga kerja. Dalam perkawinan kedua istri kedua itu harus minta izin pada istri pertama.

Dalam pandangan orang Mandobo penyakit dan kematian mempunyai arti yang penting. Sakit dan kematian bayi yang sedang menyusui dipandang sebagai perbuatan roh jahat yang membalas dendam karena pelanggaran pantangan. Kematian orang dewasa disebabkan karena magi yang diperbuat oleh seseorang. Kematian yang wajar dan alamiah hanya diterima untuk orang-orang tua saja.

Unsur pakaian kaum laki-laki adalah koteka, yakni alat penutup p*nis yang terbuat dari sejenis buah labu yang telah kering. Para wanita atau istri menutup kemaluannya dengan serat-serat yang terbuat dari kulit kayu.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Minggu, 05 Juni 2016

Cerita Dongeng Legenda Putri Limaran Lengkap

Cerita Dongeng Legenda dari Jawa Tengah Putri Limaran
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Cerita Dongeng Legenda dari Jawa Tengah Putri Limaran, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Putri Limaran adalah permaisuri raja yang cantik jelita. Walaupun berpenampilan sederhana namun tetap memiliki kecantikan yang luar biasa. Ia memiliki kegemaran membatik dan menyulam.

Pada suatu hari ketika Limaran sedang mengandung, raja berpamitan untuk pergi berburu. berhari-hari sang raja tidak kunjung pulang dari hutan. Untuk mengisi kekosongan waktu Limaran melakukan kegiatan sesuai kegemarannya. Ia sangat suka membatik di tempat yang tenang.

Saat itu ketika limaran sedang asyik membatik diatas pohon ditepian telaga, seorang peri buruk rupa sedang berkaca di air telaga tepat dibawah tempat Limaran membatik. Si peri Buruk rupa tampak tersenyum-senyum melihat bayangan cantik di air telaga. Ia menyangka bayangan itu adalah wajahnya "Alangkah cantiknya aku" gumamnya.

Baca Cerita Dongeng Ini Selengkapnya :
Namun apa yang terjadi ketika iatertawa lebar-lebar dan bayangan itu tetap membisu, ia dongakkan kepalanya keatas. dilihatny6a putri cantik sedang duduk diatas papan yang terpasang diatas pohon, ia menyadarai bahwa bayangan itu bukan dirinya. Bersamaan dengan itu sang putri melihat ke bawah. Sang putri sangat terkejut melihat peri yang buruk rupa berada dibawahnya, sehingga canting yang dipegangnya jatuh ke tanah.

Limaran berkata "hai peri, bila engkai mau menolongku mangambilkan canting itu, engkau akan aku ajak ke istana menjadi pelayanku". Mendengar kata Limaran sang peri buruk rupa merasa sangat gembira, lalu diambilnya canting yang jatuh dan diberikannya pada Limaran.

Sesuai dengan janji Limaran, maka si Buruk menjadi pembantu Limaran.Karena siburuk mampu menunjukan perangai yang baik, maka ia dangat dipercaya oleh sang putri. Namun dibalik itu semuahati si Buruk diliputi rasa iri dengan kecantikan dan kebahagiaan sang Putri. Ia berfikir, "Alangakah bahagianya bila aku dapat menjadi permaisuri seperti sang Putri." Maka ia selalu mencari kesempatan untuk menyingkirkan Limaran.

Kesempatan itu akhirnya tiba, ketika limaran hamil tua. Raja pergi berburu di jutan yang jauh dari kerajaan, karena itu pada saat Limaran melahirkan Raja tidak ada di istana. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh si Buruk. Dengan berdalih menolong, Limaran dapat diperdaya. Limaran mati saat melahirkan. Tubuhnya dikubur di halaman istana dan bayi limaran disusui oleh si Buruk.

Setelah sebulan lamanya, Raja kembali ke istana dengan hati bangga karena mendengar putranya telah lahir, namun betapa terkejutnya ketika raja mengetahui bahwa permaisurinya telah tiada. seketika wajahnya menjadi muram, si Buruk berusaha menghibur namun tidak berhasil.

Hari demi hari keadaan raja semakin memburuk. Dia sudah tidak mempedulikan lagi keadaan sekelilingnya. Kerjanya hanya termenung menunggui pusara permaisuri yang kini ditumbuhi bunga melati yang harum. hati si buruk semakin jengkel, maka ketika sang Raja tidak ada disana bunga melati itu dicabut dan dibuang jauh-jauh. Raja semakin kehilangan.

Ajaib, ditempat pembuangan bunga melati itu tumbuh pohon maja yang berbuah hanya satu. ketika buah itu matang mengundang selera seorang juru masak untuk memetiknya lalu dibawanya pulang. Aneh, buah itu dapat berbicara dan menjelma menjadi seorang putri cantik jelita. Juru masak dapat mengenalinya, ia dalah Limaran permaisuri Raja. Limaran meminta ijin juru masak untuk boleh tinggak di rumahnya. Juru masak yang kebetukan adalah seorang janda tidak merasa keberatan bahkan dengan senang hati ia menerimanya. -Selama tinggal di rumah juru masak, sang Putri selalu memperhatikan keperluan putranya. Ia membuat baju-baju bayi yang disulam indah serta membuat makanan kesukaan Raja. tentu sang raja menjadi bertanya-tanya siapakah gerangan yang mampu membuat makanan kegemarannya. Rupanya tidak mudah untuk mengetahui karena juru masak tidak mau berterus terang ketika ditanya. namun akhirnya rahasia itu terbongkar ketika sang Raja diam-diam mengikuti juru masak yang pulang kerumahnya. Pertemuan sang Raja dengan permaisuri sangat mengharukan. Sang putri lalu menceritakan semua peristiwa yang telah menimpanya. sang raja berjanji akan menghukum si Buruk setimpal dengan kesalahannya.

Si buruk rupa pun kemudian dihukum mati, mayatnya dikubur di belajang istana. Karena kejahatannya, maka diatas kuburnya tumbuh bunga bangkai yang berbau busuk.

Pesan moral Dongeng : Orang yang rendah hati tentu akan mendapat pertolongan Tuhan. Sebaliknya, orang yang iri dengki terhadap orang lain akan celaka.
Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita. Untuk belajar memahami itu semua, coba adik-adik tebak dari cerita diatas temanya apa, tokohnya siapa dan settingnya dimana, ayo siapa yang tahu?.


Baca selengkapnya

Akibat Kucing Yang Serakah Lengkap

Fabel Akibat Kucing Yang Serakah
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang cerita Dongeng Fabel Akibat Kucing Yang Serakah, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Hari itu masih sangat pagi, matahari pun belum menampakkan diri. Hewan-hewan masih banyak yang tidur dengan pulasnya. Namun di kejauhan nampak seekor kucing berjalan tergopoh-gopoh. Ia berjalan sambil membawa seember susu yang diletakkan di punggungnya. Sesekali ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepertinya ia takut ada teman yang mengikutinya. "Syukurlah tidak ada yang melihatku," kata si kucing dalam hati.

Ketika si kucing merasa tubuhnya capek ia berniat untuk istirahat. Ia mencari tempat yang aman dari pengamatan teman-temannya. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti manakala ia berjumpa dengan seekor Kancil yang sedang memeluk sebatang pohon bambu. Si kancil berkali-kali mencoba menggigit pohon bambu, seolah-olah hendak memecahkan batang bambu, namun dilepaskan lagi. Setelah usahanya gagal, si kancil nampak bersedih dan menangis. "Hu hu hu hu....gagal lagi usahaku," demikian rintih si kancil di hadapan si kucing.

Baca Cerita Dongeng Ini Selengkapnya :
Si kucing merasa iba dan ikut bersedih melihat si Kancil menangis tersedu-sedu. Lalu ia berusaha menyapanya.

"Hei, kenapa kamu bersedih dan menangis, Kancil?" tanya si Kucing.

Si Kancil tidak menjawab, bahkan tangisannya semakin menjadi-jadi. "Huuuhuuuuhuuuhuuuuu." Sebenarnya tangisan si kancil di hadapan si kucing hanya pura-pura saja. Dia berniat memberi pelajaran si kucing yang terkenal serakah dan suka mencuri susu milik teman-temannya. Si kancil jengkel setiap kali mendengar laporan akan kecurangan si kucing kepada teman-temannya.

"Wah, si kancil benar-benar bersedih, nih," pikir si kucing. Kemudian si kucing meletakkan ember yang berisi susu di bawah pohon. Dan si kancil masih memegang erat-erat batang pohon bambunya.

"Hei, Kancil...kenapa kamu bersedih ? Bolehkan aku tahu permasalahanmu?"

"Heeemmm....wah senang sekali apabila kamu bisa membantuku, Kucing," jawab si kancil.

"Iya...tapi apa masalahnya?"

"Begini, kawan," kata si Kancil mulai menyusun siasat. "Malam tadi aku mendapat batang bambu ajaib yang jatuh dari langit. Meskipun bambu ini tidak mempunyai akar namun lihatlah daun-daunnya nampak hijau segar. Pasti di dalamnya ada air ajaib di 6 ruasnya yang membuat daun-daun bambu ini nampak masih hijau segar. Pasti air ajaib itu bisa membuat kita awet muda dan sakti. Oleh karena itu, aku berusaha memecahkannya. Namun usahaku gagal. Aku sedih, kawan."

"Wah, ada air ajaib yang bisa membuat awet muda? Aku harus bisa merebutnya dari tangan si Kancil," pikir si Kucing. "Dasar si Kancil bodoh. Seharusnya membuka batang bambu dengan benda runcing seperti cakarku ini. Mana bisa memecah batang bambu dengan giginya."

" Begini saja, Cil," kata si kucing. "Bagaimana kalau batang bambumu ini aku tukar dengan setengah ember susuku?"

"Hahhh! Ditukar dengan Setengah ember susu? Ogah yaaaa....enak aja satu batang bambu ajaib ditukar setengah ember susu. Kamu tidak adil. Kamu mau enaknya sendiri. Kamu serakah," kata si Kancil sambil terus memeluk batang bambunya.

"Tapi susu ini masih segar dan lezat lho....kamu tinggal minum saja...enakkk, Cil. Daripada kamu kesulitan memecahkan batang bambu itu? Serahkan saja padaku. Kamu bisa menimati setengah ember susu ini"

"Ogaaaahhhh.....gak mauuuu....tidak sudiiii....Sekali tidak mau ya tetap tidak mau," kata si Kancil pura-pura bertahan dan menganggap bahwa batang bambunya benar-benar sakti.

"Kalau begitu...bagaimana kalau aku minta hanya setengah saja batang bambumu dan kita tukar dengan setengah ember susuku. Nah...adil kan?"

"Ogaaahhh...enak saja bambu ini dipotong separo...kesaktiannya bisa hilang, Cing!"

Si Kucing makin penasaran dengan sikap si Kancil. Dirinya harus bisa memiliki batang bambu itu bagaimanapun caranya agar dirinya bisa tetap awet muda dan sakti. Kalau dirinya sakti tentu ia bebas berbuat apa saja kepada teman-temannya. Ia bebas memiliki susu milik siapapun tanpa takut terhadap teman-temannya. Dan akhirnya ia nekat ingin menukar seember susunya dengan batang bambu yang dimiliki si Kancil.

"Begini saja, Cil. Bagaimana kalau batang bambumu itu aku tukar dengan seember susuku ini?"

Si kancil pura-pura keberatan dengan usul si kucing. Padahal dalam hati ia merasa bahwa kali ini si kucing akan menemui batunya. Kali ini si Kucing akan menerima ganjaran akan keserakahan dan kelicikannya.

"Kalau itu maumu, aku sih setuju-setuju saja, Cing. Tapi kamu ikhlas nggak menukar susumu dengan batang bambu ini?" tanya si Kancil.

"Ikhlas, Cil. Ayo mana batang bambumu!" kata si kucing tidak sabar ingin memiliki batang bambu milik si kancil. Dan ia akan segera memecahkannya agar bisa segera meminum air ajaib yang ada di tiap ruasnya. "Aku akan menjadi Kucing Sakti dan senantiasa awet muda. Asyiiikkkk," kata si kucing senang.

Kemudian si kancil melepaskan batang bambunya. Setelah Ia meraih seember susu milik si Kucing, lalu ia pergi meninggalkan si kucing sendirian.

"Horeeee....aku akan menjadi kucing sakti.iiiii!" teriak si kucing. Kemudian ia mengeluarkan cakar-cakarnya. Batang bambu yang ada dihadapannya dicakar-cakar berkali-kali agar bisa pecah. Ia terus berusaha memecahkannya. Akhirnya, setelah dengan perjuangan yang keras ia berhasil memecahkan batang bambu di hadapannya. Namun ternyata air sakti yang diharap-harapkannya ternyata tidak ada. Ia hanya mendapati ruas-ruas bambunya kosong tidak ada apa-apanya. Sedangkan daun bambu yang masih hijau disebabkan pohon bambu masih baru dipotong.

"Haahhhh! Sialan...mana air sakti itu!!???" teriak si kucing.

"Dasar si Kancil pembohong...aku telah ditipunya. Aku telah ditipunya....," kata si Kucing sambil bergegas lari mengejar si kancil yang telah membawa seember susunya.
Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita. Untuk belajar memahami itu semua, coba adik-adik tebak dari cerita diatas temanya apa, tokohnya siapa dan settingnya dimana, ayo siapa yang tahu?.


Baca selengkapnya

Raja Bijaksana dan Tiga Rakyatnya Lengkap

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang cerita Dongeng Raja Bijaksana dan Tiga Rakyatnya, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Dahulu kala, Ada sebuah kerajaan dipimpin seorang raja yang bijaksana dan adil. Dia enggan menggunakan kekayaan kerajaan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Seluruh harta kekayaan kerajaan digunakan untuk memakmurkan rakyatnya. Sehingga tidak heran, seluruh rakyat senantiasa menaruh hormat dan kagum kepada sang raja dan keluarganya. Dan tidak heran seluruh titah raja senantiasa dipatuhi dan dilaksanakan dengan ikhlas oleh rakyatnya.

Suatu hari, baginda raja ingin menguji kesetiaan rakyatnya. Maka diutuslah seorang hulubalang untuk memanggil 3 orang rakyat yang telah dipilih secara acak oleh sang raja. Tidak lama kemudian, datanglah 3 orang rakyat yang dimaksud. Ketiga rakyat yang dipanggil sang raja beranggapan bahwa tentu sang raja akan memberi hadiah yang istimewa kepada mereka, karena sang raja begitu dermawan kepada rakyatnya.

Baca Cerita Dongeng Ini Selengkapnya :
"Assalamu'alaikum, rakyatku," sapa sang raja kepada ketiga rakyatnya yang telah berada di hadapannya.

"Walaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, paduka. Kami bertiga menghaturkan salam hormat," jawab ketiganya serentak.

"Hemmm...terima kasih kalian telah memenuhi undanganku. Aku memanggil kalian karena ingin memberi tugas untuk mengambilkan buah-buahan yang ada di wilayah kerajaan ini. Apa kalian mau mengerjakannya?"

"Waaah... dengan senang hati hamba akan mengerjakannya, paduka," jawab ketiganya.

Baginda raja senang mendengar jawaban yang tulus dan kesanggupan rakyatnya.

Lalu sang raja memerintahkan seorang prajurit mengambilkan 3 buah keranjang besar.

"Nah, masing-masing dari kalian harus memenuhi keranjang tersebut dengan aneka macam buah-buahan yang ada di wilayah kerajaan ini. Bila tugas kalian telah selesai maka bawalah buah-buahan tersebut ke hadapanku. Kalian mengerti?"

Ketiga rakyatnya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Lalu mereka pergi dengan membawa keranjangnya masing-masing.

Ternyata, ketiga rakyatnya memiliki pemikiran yang berbeda terhadap tugas yang diembannya. Ada yang menganggap bahwa tugas sang raja adalah suatu kehormatan baginya, sehingga dia harus melaksanakan dengan senang hati dan penuh keikhlasan serta berusaha mempersembahkan aneka macam buah berkualitas kepada raja mereka. Rakyat kedua menganggap perintah itu biasa saja, sang raja tentu tidak akan memperhatikan dan tidak mungkin akan menghitung buah yang dia kumpulkan. Bukankah sang raja telah makmur dan kaya-raya, tentu tugas ini hanya sekedar menguji kesetiaan saja. Oleh karena itu, ia sembarangan memetik buah-buahan untuk sang raja. Buah-buahan mentah maupun yang sudah hampir busuk dia masukkan ke keranjang. Bahkan dia menata buah ke dalam keranjang juga sembarangan, tidak tertata. Selain itu. agar keranjangnya nampak menarik di hadapan sang raja maka dia sengaja menaruh buah-buahan yang segar dan masak di lapisan atas keranjangnya. Dan rakyat yang ketiga beranggapan bahwa tugas dari sang raja adalah sebuah penghinaan baginya. Dia sudah merasa hidupnya enak, kaya. semua serba ada tetapi sekarang disuruh mengambilkan buah buat si raja. Bukankah kalau sang raja ingin makan buah-buahan tinggal beli di pasar semua tentu ada. "Harta kerajaan khan banyak," pikir rakyat ketiga ini. Oleh karena itu, dia sengaja melaksanakan perintah raja dengan penuh kemalasan dan sembarangan. Dia ingin secepatnya memenuhi keranjangnya agar segera bisa mengakhiri pekerjaannya. Oleh karrena itu, dia mengisi keranjangnya dengan buah-buahan yang asal petik saja. Tidak peduli buah masak ataupun buah masih muda ia masukkan ke keranjangnya. Dia senantiasa bekerja dengan ngedumel. Menggerutu. Tidak ikhlas dalam mengerjakan tugas. Apapun jenis buah yang ada di hadapannya dia masukkan ke dalam keranjang. Bahkan buah-buahan yang beracunpun dia masukkan keranjangnya juga. Dia sengaja melakukan hal itu karena ingin membalas kesewenang-wenangan sang raja kepadanya.

Dan sore hari, ketiga rakyatnya telah mengisi seluruh keranjangnya dengan bermacam-macam buah-buahan sesuai dengan yang dipesan sang raja. Mereka bersama-sama menghadap sang raja.

"Wah...kalian memang benar-benar rakyatku yang setia dan taat terhadap perintah raja. Aku kagum dengan ketaatan kalian. Nah..karena bekal kalian sudah banyak maka aku perintahkan kepada para prajurit untuk membawa kalian menempati pulau-pulau terpencil yang telah disiapkan kerajaan. Pulau itu dihadiahkan kepada kalian bertiga. Disana tidak ada makanan secuilpun. Oleh karena itu, selama di pulau tersebut kalian hanya dibekali dengan sekeranjang buah-buahan yang telah kalian kumpulkan," demikian perintah sang raja. Lalu para prajurit membawa mereka menyeberangi pulau untuk ketiga rakyatnya.

Betapa terkejutnya ketiga rakyatnya mendengar titah sang raja. Sang raja memang telah menguji keikhlasan rakyatnya dalam mengabdi kepada rajanya. Perintah raja harus dilaksanakan.

"Jadi semua buah ini untuk hamba paduka?!" kata mereka. Dan ketiga rakyatnya menyambut keputusan raja dengan raut wajah yang berbeda.

Rakyat yang benar-benar ikhlas bekerja dan berusaha mempersembahkan kualitas terbaik dalam pengabdiannya maka akan merasakan kenikmatan dengan jerih payahnya untuk dirinya sendiri. Sementara rakyat yang menganggap biasa saja perintah sang raja maka akan menyesal karena tidak serius dan asal-asalan melaksanakan perintah sang raja. Sedangkan rakyatnya yang merasa perintah sang raja adalah sebuah penghinaan baginya dan melakukan tugas sembarangan maka akhirnya akan merasakan betapa sengsaranya hidup dengan bekal yang tidak berkualitas dan bekal yang terkesan asal-asalan.

"Sebenarnya Aku tidak butuh dengan hasil pekerjaan kalian karena aku sudah kaya dan tidak membutuhkan semua itu. Aku memerintahkan kalian mengerjakan tugas karena aku ingin melihat sampai sejauh mana kualitas dan ketulusan pengabdian kalian kepadaku," kata sang raja sambil menatap ketiga rakyatnya yang berjalan pergi bersama para prajurit menuju pulau terpencil bagi ketiganya.

Pesan moral cerita :
Tuhan itu maha kaya dan Maha bijaksana. Dia memerintahkan makhluknya untuk beribadah sebenarnya untuk melihat sejauh mana kualitas pengabdian kita kepada-Nya. Semua nilai ibadah yg kita kerjakan sebenarnya hasilnya untuk peningkatan kadar kualitas kita sendiri di hadapan-Nya.
Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita. Untuk belajar memahami itu semua, coba adik-adik tebak dari cerita diatas temanya apa, tokohnya siapa dan settingnya dimana, ayo siapa yang tahu?.


Baca selengkapnya