Selasa, 26 Juli 2016

Sejarah Suku Lauje Lengkap

Suku Dunia ~ Lauje adalah suku bangsa yang antara lain berdiam di wilayah kecamatan Tomini, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam penelitian lapangan tentang sistem budaya masyarakat terasing di Sulawesi Tengah yang dilakukan oleh Anrini Sofion dan Tri Choesianto (1986), orang Lauje diperkirakan tidak hanya berdiam di Kecamatan lain dalam kabupaten Donggala, bahkan ada pula yang berdiam di wilayah Kabupaten Poso dan Luwu Banggai. Jumlah orang Lauje di wilayah Kecamatan Tomini, yang seluruh penduduknya berjumlah 37.032 jiwa pada tahun 1984, tidak lagi diketahui secara pasti. Di Kecamatan ini mereka sebagian berdiam di sekitar pantai Teluk Tomini dan lainnya di daerah pegunungan.

Ciri Fisik Orang Lauje

Dalam laporan penelitian tersebut diatas dapat diketahui ciri-ciri fisik orang Lauje, antara lain, tinggi tubuh kaum prianya rata-rata 160 sentimeter, dan kaum wanita 150-155 sentimeter. Warna kulitnya Sawo matang sampai kehitam-hitaman. Rambutnya sebagian lurus dan sebagian berombak dengan warna agak kemerah-merahan. Rongga mata agak cekung ke dalam dengan warna mata hitam. Sayap dan lubang hidung agak lebar. Bentuk mulut lebar dan bibir tebal. Gigi tampak besar dan kuat pada rahang yang besar.

Pola Perkampungan suku Lauje

Pola pemukiman orang Lauje di daerah pegunungan berbeda dengan yang tinggal di daerah pantai. Di daerah pegunungan mereka mendiami rumah di tengah ladang masing-masing, yang jaraknya satu sama lain mencapai satu kilometer. Rumah itu boleh dikatakan bukan rumah tetap, karena kalau keadaan tanah perladangannya sudah tidak subur, mereka akan pindah dan membuat rumah baru lagi. Rumah itu terbuat dari bahan kayu dengan atap rumbia atau daun kelapa. Rumah panggung itu terkadang tidak terdinding, karena atapnya langsung sampai ke tanah. Bagian dalam tidak mengenal pembagian ruangan, dan disitulah mereka bekerja, makan, dan tidur. Rumah orang Lauje di daerah pantai tampak mengelompok padat dan berjejer menghadap jalan. Disini rumah panggung yang terbuat dari bahan yang sama seperti di pegunungan sudah mengenal pembagian ruangan karena pengaruh dari luar.

Mata Pencaharian Suku Lauje

Mata pencaharian pokok mereka adalah bercocok tanam di ladang yang masih berpindah-pindah, dengan tanaman utama padi dan jagung. Selain itu mereka juga menanam sayur-sayuran. Akhir-akhir ini mereka sudah mulai menanam cengkeh dan bawang putih. Orang Lauje di daerah pantai juga menanam singkong, ubi jalar, pisang, pepaya, mangga liar, dan sayur-mayur di sekitar pekarangan. Jenis mata pencaharian sambilan lain adalah mencari rotan, damar, kemiri, membuat kerajinan tangan, berburu, dan beternak. Pada musim paceklik mereka biasanya makan ubi jalar (unggayu), ubi hutan atau gadung (ondot) yang tumbuh liar di hutan.

Dalam rangka bertanam padi di ladang, mereka mempunyai suatu pola kegiatan dengan kepercayaan dan upacara tertentu. Pertama-tama mereka mengukur tanah yang akan dijadikan ladang yang luasnya sesuai dengan kemampuan untuk mengerjakannya. Setelah melakukan pengukuran untuk mengerjakannya. Setelah melakukan pengukuran, mereka meletakkan sesaji yang ditujukan kepada roh tanah (Togu Ptu') sebagai permintaan izin. Izin itu ditunggu lewat mimpi selama dua atau tiga hari. Dalam mimpi itu juga diberikan isyarat berapa lama boleh menggarap tanah tersebut. Setelah ada izin, barulah pohon-pohon di areal yang sudah diukur itu ditebang. Alat penebangnya kapak (beliung) dan parang (piging). Apabila sudah kering, pohon-pohon dibakar, dengan tujuan memudahkan pembersihannya, menyuburkan tanah, dan mengusir roh jahat yang berdiam di tanah (puang ma petu'). Kemudian mereka bertanam padi dan jagung dengan cara melubangi tanah dengan tugal (suang).

Sebelum masa panen tiba, mereka membersihkan rumput (basube') sebanyak dua kali untuk tanaman padi dan satu kali untuk tanaman jagung. Kegiatan panen baru bisa dilakukan setelah upacara panen dilaksanakan. Upacara itu dipimpin oleh pemuka uacara wanita (madodon). Panen itu dilakukan oleh wanita dengan menggunakan alat ani-ani.

Kekerabatan Suku Lauje

Selain keluarga inti, mereka juga mengenal kelompok kekerabatan keluarga luas. Suatu keluarga luas berdiam dalam satu rumah, namun setiap keluarga inti memiliki dapur sendiri. Gabungan keluarga luas merupakan kelompok yang menyerupai klen patrilineal. Desa Palasa di Kecamatan Tomini terbagi atas 31 kelompok patrilineal. Setiap kelompok berdiam di satu daerah tertentu dengan nama-nama tersendiri yang sama dengan nama gunung atau nama lembah tempat tinggal mereka. Dalam perkawinan mereka mengamalkan adat eksogami kelompok. Para pemuda dibebaskan memilih jodohnya sendiri, meskipun pilihan anak tidak selalu disetujui oleh orang tua. Oleh sebab itu, mereka juga mengenal adat kawin lari.

Terselenggaranya suatu perkawinan didahului oleh beberapa tahap, yaitu pelamaran, penerimaan lamaran, penyerahan mas kawin, dan pernikahan. Lamaran dari pihak pria kepada pihak wanita disampaikan dengan cara mengirim utusan yang membawa piring batu (tolang). Bila pinangan diterima, pihak pria menyiapkan 11 barang pinangan, yaitu sehelai sarung batik (bate'), baju kebaya (kabaya), sepasang gelang (gonge), sepasang anting-anting (anti-anti), jarum (siji'), satu gulung benang jahit (gapase), sisir (sasalange), satu untai peniti (paniti), sebuah cermin (pandangan), bedak (pupure), satu buah kantong kain yang berisi uang sejumlah 100-500 rupiah. Barang lamaran ini diantar oleh kepala adat pihak pria bersama ayah dan saudara sekandung calon mempelai itu. Penerimaan lamaran (tinarimane) oleh pihak wanita ditutup dengan makan bersama.

Penyerahan mas kawin dilaksanakan setelah dua atau tiga minggu lamaran diterima. Penyerahan mas kawin biasanya dilaksanakan pada malam hari, dan hanya boleh dihadiri oleh pria yang telah menikah. Golongan muda-mudi berada di luar rumah, bersuka-ria dengan cara menyanyi dan menari. Penyerahan mas kawin merupakan inti upacara. Mas kawin itu terdiri atas empat tumpukan barang, yaitu satu buah piring batu (sampilubibi) sebagai pembuka kata, satu piring batu (asasala) sebagai pembersih dosa, mas kawin yang sebenarnya (tolang), terdiri atas 12, 10, atau 7 piring baru, sesuai dengan derajat sang gadis, dan pedang yang berisi empat buah piring bat. Upacara pernikahan berlangsung dengan berbagai upacara yang sangat rumit.

Agama dan Kepercayaan Suku Lauje

Pada masa kini, sebagian orang Lauje memeluk agama Kristen dan sebagian lagi memeluk agama Islam. Namun, unsur-unsur sistem kepercayaan lama masih mereka amalkan. Orang Lauje percaya bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama. Salah seorang nenek moyang mereka adalah Yongko Umur, yang kemudian menurunkan Olongian Laki-Laki dan Olongian Perempuan. Olongian laki-laki berdiam dan memerintah di "alam atas" (langit). Ia kemudian dikenal dengan nama Ilah Ta'ala. Olongian perempuan berdiam dan memerintah di "alam bawah" (bawah tanah). Orang Lauje menyebut olongian perempuan dengan nama Nur Ilah. Kedua olongian inilah yang kemudian menurunkan orang Lauje yang ada sekarang.

Di samping kedua olongian tadi, orang Lauje masih percaya kepada beberapa ilah lain yang mempunyai tugas khusus dalam kehidupan manusia di dunia. Pertama, Raja Tongka Alah yang bertugas sebagai perantara antara roh-roh orang yang telah meninggal yang berdiam di langit dan orang yang masih hidup di bumi. Kedua, Puang Ma Petu' yang berdiam di bawah tanah sebagai ilah perusak. Ketiga, Olongian sebagai ilah penyelamat yang berada di mata air. Orang Lauje percaya pula kepada roh-roh halus, yaitu Togu Petu', Togu Ompongan, dan Togu Ogo. Seperti telah disinggung di atas, Togu Petu', yang bertugas menjaga tanah, dianggap sangat menentukan berhasil tidaknya usaha di ladang. Togu Petu', yang bertugas menjaga tanah, dianggap sangat menentukan berhasil tidaknya usaha di ladang. Togu Ompongan adalah roh penguasa hutan yang mengawasi aktivitas manusia di hutan. Togu Ogo adalah roh penjaga air dan penguasa di sungai-sungai. Kepada para roh inilah orang meminta izin bila hendak melakukan aktivitas tertentu di sekitar lingkungan kekuasaannya.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Rabu, 20 Juli 2016

Sejarah Suku Dayak Kantuk Lengkap

Suku Dunia ~ Kantuk adalah salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam dalam wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Dalam Kabupaten tersebut mereka lebih terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Nanga Kantuk, yang berada di sekitar anak-anak sungai di bagian Hulu Sungai Kapuas. Sumber lain menyebutkan bahwa orang Kantuk ini ada pula yang bermukim dalam wilayah Kecamatan Semitau. Lingkungannya merupakan hutan primer dan hutan sekunder.


Orang Dayak Kantuk ini memiliki bahasa tersendiri yaitu bahasa Kantuk. Belum diperoleh informasi berapa jumlah penutur bahasa ini. Bila orang Kantuk bermukim di kedua kecamatan tersebut di atas, maka mereka berada misalnya di antara 4.900 jiwa penduduk Kecamatan Nanga Kantuk dan 9.198 jiwa penduduk Kecamatan Semitau tahun 1982.

Mereka tinggal berkelompok dalam suatu rumah panjang (rumah tegoh). Rumah panjang ini dengan struktur multi keluarga permanen terletak di pusat wilayah pemukiman. Selain itu ada gubuk di ladang yang merupakan tempat tinggal sementara keluarga tunggal, tersebar di seluruh wilayah dekat perladangan masing-masing. Gubuk ladang ini dipakai sekitar dua atau tiga tahun selama masa sibuk, sedangkan rumah panjang dihuni sampai 20 tahun atau lebih, sesudah senggang dengan pekerjaan di ladang. Selain rumah tegoh ada lagi rumah panjang lain yang disebut dampa yang lebih kecil dengan muatan keluarga yang lebih sedikit pula dengan konstruksi yang lebih sederhana.

Rumah panjang orang Kantuk pada keadaan 1976, seperti yang diteliti oleh Dove (1985) di Kulit Tuba, memperlihatkan struktur semacam berikut ini. Rumah ini mempunyai bagian-bagian:
  1. Tempat menjemur yang terbuka sepanjang rumah.
  2. Ruang tertutup, yang juga sepanjang rumah, yang dibagi menjadi jalan pintas dan ruang kerja.
  3. Deretan sembilan bilek sebagai tempat kediaman yang tertutup.
  4. Rangkaian rumah dapur yang dicantolkan pada bagian belakang masing-masing bilek.
  5. Sederetan tempat menyimpan yang dibangun di atas bilek dan ruang di depannya.
Rumah ini mempunyai konstruksi yang baik. Tiang-tiang merupakan kayu yang kokoh dan besar. Tiang tegak lurus dan balok yang mendatar disambung dengan menggunakan pasak. Tempat penjemuran sebagian besar diberi berlantai bambu, tetapi ruang terbuka, bilek, dapur, dan tempat penyimpanan, terbuat dari lantai kayu keras. Dinding bagian dalam terbuat dari kulit kayu yang agak tipis. Atap terbuat dari kayu sirap yang kuat. Pembangunannya memakan waktu dua tahun kerja. Sebagian pembangunan dikerjakan sendiri oleh masing-masing keluarga di bagian yang akan menjadi miliknya dan bahayanya pun sesuai dengan pilihan sendiri. Sebagian pekerjaan yang berat dikerjakan secara bergotong-royong. Meskipun setiap bagian itu menjadi milik dan tanggung jawab keluarga masing-masing, namun ada bagian yang dirawat bersama, misalnya tangga, jembatan ke arah sungai, dan lain-lain.

Dalam rumah panjang itu dikenal adanya tokoh-tokoh yang berperan menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Oleh pemerintah ditentukan adanya kepala kampung dan pembantunya (kebayan). Selain itu ada pun rumah, yaitu keluarga yang memegang tongkat peramal ketika rumah panjang itu dibuat, keluarga paling tua (bilek tua) dan duku (nanang). Namun, orang Kantuk memiliki egalitarisme yang kuat, sehingga wewenang seseorang atau keluarga tertentu relatif kecil. Yang lebih penting adalah wewenang keseluruhan warga rumah panjang itu.

Apabila ada masalah penting atau pertikaian, rapat diadakan di ruang terbuka. Semua pria dewasa wajib datang, para wanita tetap berada dalam bilek masing-masing. Akan tetapi, mereka bisa ikut berpartisipasi dengan meneriakkan pendapat dari bilek atau muncul sejenak ke serambi. Pihak yang bertikai bisa didesak menerima keputusan rapat tetapi keputusan itu tidak dipaksakan. Diantara yang bertikai itu bisa menolak keputusan tersebut, dan mencari penyelesaian dengan cara lain, namun apabila terjadi pelanggaran ritual penting yang dilakukan oleh individu atau keluarga akan ada hukuman dari dewa-dewi bagi keseluruhan rumah panjang itu. Untuk itu pengadilan rumah panjang mengharuskan pihak yang bersalah mengorbankan seekor babi atau lebih kepada dewa-dewi.

Pada masa sekarang ini jumlah rumah panjang itu sudah semakin berkurang. Mereka membuat rumah-rumah tunggal yang dihuni oleh satu rumah tangga. Dengan perubahan ini kita tetap mencatat pendapat sementara ahli (Dove, 1985) yang menyatakan bahwa bentuk dan organisasi rumah panjang mengandung suatu fungsi simbolis dan penting dalam kerja sama ekonomi orang Kantuk. Bagi mereka rumah panjang mencerminkan dan melambangkan ikatan dan kewajiban sosial antar keluarga yang merupakan dasar kerja sama. Kelansungan lambang ini merupakan hal yang amat penting bagi penggalangan kerja sama di antara mereka yang berdiri sendiri.

Ekonomi orang Kantuk merupakan ekonomi ganda. Artinya untuk makan mereka menanam padi dan sayur mayur di ladang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti garam, pakaian, tembakau, minyak tanah, mereka berdagang, menyadap karet dan menanam lada. Berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan hasil hutan merupakan pekerjaan sambilan.

Dalam kegiatan perladangan ada pemakaian tenaga kerja dari luar keluarga. Bantuan itu biasanya diperlukan dalam rangka menebas, menebang, menanam, menyiangi, panen, dan mengangkut hasil panen. Macam kegiatan dalam siklus kerja di ladang yang tidak dimintai bantuan misalnya memilih lokasi, membakar, dan menjaga tanaman. Tenaga kerja dari keluarga lain diperoleh dengan cara yang disebut bertolong. Cara ini tidak mengharapkan balasan atau penggantian dari keluarga satu terhadap keluarga lain, karena tiba-tiba menghadapi suatu pekerjaan berat. Cara berimpoh bersifat saling berbalasan dimana semua keluarga rumah panjang ikut mengerjakan pekerjaan satu keluarga sampai tuntas dan diteruskan pada keluarga yang lain dan seterusnya. Cara ketiga adalah bedurok dimana tenaga kerja itu diganti secara ketat berdasarkan hari kerja. Kompensasi yang lebih ketat lagi ditemukan pada cara bekuli yang imbalannya upah berupa padi atau uang per-hari.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Kamis, 14 Juli 2016

Mengenal Suku Mandobo Lengkap

Suku Dunia ~ Mandobo adalah suku bangsa yang menyebut dirinya Mandub-Wambon, yang berdiam antara sungai Digul dan sungai Kao, yang berada dalam wilayah Kecamatan Mandabo. Kecamatan ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Wilayah kecamatan ini dialiri sungai Mandobo, sebagai cabang dari Sungai Digul yang bermuara di pantai barat daya Kabupaten Merauke. Di bagian timur Kecamatan Mandobo bertautan dengan wilayah Kecamatan Waropko dan Kecamatan Mindip Tana, dimana kedua kecamatan ini langsung berbatasan dengan wilayah negara Papua Nugini.


Wilayah ini tertutup hutan lebat, hampir tidak ada perbedaan antara musim hujan dan musim kering. Di tengah hutan itu terdapat pemukiman-pemukiman kecil yang letaknya terpencar, yang jaraknya berjam-jam perjalanan. Beberapa rumah terdapat di tengah kebun pada sebidang tanah yang hutannya sudah di tebang. Di sana terdapat ladang sagu dan tambak ikan, dan disanalah mereka mencari makan, kayu bakar, bahan bangunan, atau tumbuh-tumbuhan untuk obat.

Nama Mandobo itu diberikan dan disebut oleh orang luar. Jumlah orang Mandobo tidak lagi diketahui secara pasti. Namun, mereka merupakan penduduk terbesar di antara 7.627 jiwa penduduk Kecamatan Mandobo pada tahun 1987, dan pada tahun 1990 menjadi sekitar 8.000 jiwa. Penduduk tersebut tersebar dalam 10 buah desa. Orang Mandobo mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Mandobo. Sementara ahli bahasa menggolongkan bahaa Mandobo, bahasa Muyu dan bahasa Anu menjadi satu kelompok yaitu kelompok bahasa Mandobo.

Baca juga :
Mereka mengembangkan bentuk kebudayaan peralihan antara kebudayaan peramu dan petani. Mereka berdiam antara kediaman orang Awyu sebelah barat sungai Digul dan kediaman orang Muyu di sebelah timur sungai Kao. Kebudayaan Awyu lebih dekat dengan budaya meramu, sedangkan budaya Muyu lebih dekat pada petani.

Mata pencaharian yang utama adalah mengumpulkan sagu dan berburu di hutan, serta menangkap ikan di sungai. Beternak babi merupakan hal yang penting bagi orang Mandobo, karena hasil penjualan babi bisa dipergunakan sebagai uang siput (mas kawin) sewaktu melamar seorang perempuan. Orang Mandobo digolongkan oleh para pengamat sebagai pedagang yang ulung. Nilai benda bergeraj dan tak bergerak, misalnya tanah, wanita, babi, anjing, panah dan busur, jala, dan lain-lain dinyatakan dengan uang siput. Akan tetapi orang berdagang juga dengan bantuan benda-benda seperti kapak dan perhiasan.

Sumber makanan pokok sehari-hari adalah sagu dan juga pisang. Mereka menanam sagu itu dan membiakkan ulat sagu. Di tempat yang kurang baik ditumbuhi sagu, mereka membuka kebun, dan konon disana ada 32 jenis pisang, 10 jenis keladi, 15 jenis kumbili, tebu dan kentang. Penangkapan ikan dilakukan dengan cara membendung dan mengeringkan sungai-sungai kecil atau dengan cara meracuni ikan dengan tuba.

Garis keturunan ditarik pada pihak laki-laki (patrilineal). Kelompok yang terdiri atas seorang ayah, anak-anak, dan beberapa istri seringkali menggabungkan diri dengan keluarga-keluarga lain. Hal ini penting untuk menjaga keamanan kelompok, terutama bila kaum laki-laki pergi berburu atau berdagang. Tugas istri atau wanita mengolah sagu dan ulat sagu untuk dimakan. Hampir setiap laki-laki yang sudah tua mempunyai beberapa orang istri. Maksud pengambilan istri yang lebih dari satu ini adalah untuk kepentingan menambah tenaga kerja. Dalam perkawinan kedua istri kedua itu harus minta izin pada istri pertama.

Dalam pandangan orang Mandobo penyakit dan kematian mempunyai arti yang penting. Sakit dan kematian bayi yang sedang menyusui dipandang sebagai perbuatan roh jahat yang membalas dendam karena pelanggaran pantangan. Kematian orang dewasa disebabkan karena magi yang diperbuat oleh seseorang. Kematian yang wajar dan alamiah hanya diterima untuk orang-orang tua saja.

Unsur pakaian kaum laki-laki adalah koteka, yakni alat penutup p*nis yang terbuat dari sejenis buah labu yang telah kering. Para wanita atau istri menutup kemaluannya dengan serat-serat yang terbuat dari kulit kayu.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya