Minggu, 14 Agustus 2016

Sejarah Suku Mandailing Lengkap

Suku Dunia ~ Mandailing adalah salah satu sub kelompok dari suku bangsa Batak yang daerah asalnya termasuk dalam Provinsi Sumatera Utara. Orang Mandailing punya daerah asal yang lebih khusus, yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Tapanuli Selatan terbagi atas 20 kecamatan, yaitu kecamatan Barumun, Barumun Tengah, Batangangkola, Batangnatal, Batangtoru, Dolok, Kotanopan, Muarasipongi, Natal Padangbolak, Padang Sidempuan Barat, Padan Sidempuan Selatan, Padang Sidempuan Timur, Padang Sidempuan Utara, Panyabungan, Sampatdolokhole, Siabu, Sipirok, Sosa, Sosopan.

Lingkungan Hidup Suku Mandailing

Wilayah dan topografinya terdiri dari dataran tinggi dan dataran rendah, dan bagian sebelah barat berbatasan dengan Lautan Hindia. Di lautan itu termasuk beberapa pulau yang menjadi bagian wilayah Kabupaten ini. Daratannya ditandai cuatan sejumlah gunung, mengalir banyak sungai dan ada pula sejumlah danau. Alamnya juga mengandung macam-macam barang tambang. Hutan masih cukup luas, terdiri dari hutan produksi, hutan lindung dan hutan cagar alam.

Di tengah alam yang demikian, sebagian besar warganya hidup dengan mata pencaharian pertanian, sawah dan ladang. Mereka juga bertanam jagung, kacang hijau, kacang tanah, kacang kedelai, sayur-mayur, dan buah-buahan. Sektor perkebunan menghasilkan karet, kopi, coklat, kelapa, kelapa sawit, nilam, jambu mete, dan lain-lain.

Penduduk Suku Mandailing

Jumlah orang Mandailing tidak dapat diketahui secara pasti. Sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar 954.332. Dalam jumlah tersebut di perkirakan, orang Mandailing merupakan yang terbesar, karena dalam wilayah ini tentu terdapat pula kelompok-kelompok dengan latar belakang etnik atau budaya lain.

Sejak dari zaman Belanda, orang Mandailing sudah mulai banyak yang pergi merantau, lebih banyak dari sub kelompok Batak yang berasal dari bagian utara. Faktor penunjang merantau ini adalah karena mereka sudah lebih awal mendapat kesempatan memperoleh pendidikan formal. faktor lain yang mendorong adalah faktor budaya, mereka melihat tanah yang diperoleh dirantau merupakan perluasan dari tanah yang ada di kampung halaman.

Pola Perkampungan Suku Mandailing

Mereka yang berdiam di pegunungan di sela-sela pegunungan Bukit Barisan di sebut Mandailing Julu, sedangkan yang berdiam di dataran rendah disebut Mandailing Godang. Yang bermukim di kampung-kampung atau dea (huta) umumnya mendiami rumah-rumah (bagas) tradisional. Rumah adat disebut  bagas godang. Sebagai kediaman kepala kampung, sebuah desa biasanya mempunyai balai desa dan sopo godang, tempat melaksanakan pertemuan atau musyawarah.

Dahulu, wilayah kampung (huta) tidak terlalu luas, sehingga kini sebuah desa merupakan gabungan dari beberapa kampung. Oleh sebab itu sebuah desa memiliki beberapa rumah adat. Sebuah huta di masa lalu itu di huni oleh kelompok-kelompok kerabat yang terdiri dari kelompok yang mewakili unsur dalihan na tolu.

Kehidupan Suku Mandailing

Kelahiran anak merupakan satu peristiwa penting. Menurut adat, orang yang pertama menjenguknya adalah mora atau pihak ibunya, kemudian baru disusul pihak kelompok anak boru, yakni kelompok "penerima wanita". Pihak mora tadi biasanya membawa makanan khas, berupa nasi bungkus dengan tiga butir telur dengan sedikit garam.

Selanjutnya, rentang kehidupan anak ini masih saja diliputi aturan adat dan kebiasaan lainnya. Ketika sang bayi sudah mulai kuat ia dibawah ke rumah mora untuk menerima "kaing penggendong" (parompa sadun) dengan tata cara tertentu pula. Pada waktunya, seorang anak di haruskan mempelajari aksara Batak, dan setelah masuk Islam belajar bahasa Arab di surau.

Daur hidup lainnya yang penting ialah perkawinan. Mereka berpegang pada adat eksogami marga dalam hal pemilihan jodoh. Pasangan yang ideal bagi seorang adalah anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya (tulang). Anak perempuan itu disebut boru tulang, sedangkan laki-laki itu disebut oleh anak perempuan dengan istilah anak namboru. itulah sebabnya sejak kecil seorang anak laki-laki sudah dibudayakan untuk menghormati tulangnya itu.

Baca Juga :
  • Sejarah Suku Batak
  • Sejarah Suku Batak Angkola
  • Sejarah Suku Melayu Langkat
  • Sejarah Suku Minangkabau
  • Suku-Suku Di Sumatera Utara
Upacara perkawinan mempunyai kaitan penting dengan unsur-unsur dari dalihan na tolu tadi. Unsur-unsur itu adalah kelompok kerabat sendiri (kahanggi), kelompok kerabat pemberi wanita (mora) dan kelompok kerabat penerima wanita (anak boru). Berbagai tata cara dilaksanakan dalam upacara perkawinan ini dengan berbagai hak dan kewajiban dari kelompok-kelompok kerabat tadi.

Orang Mandailing pernah mengenal suatu adat sehubungan dengan kematian. Apabila yang meninggal itu berusia lanjut dan yang dihormati masyarakat, upacara biasanya dilaksanakan secara lengkap (pasidung ari). Upacara ini biasanya menelan biaya yang besar. Biasa itu biasanya ditanggung oleh keluarga, kahanggi, dan anak boru.

Agama dan Kepercayaan Suku Mandailing

Orang Mandailing umumnya beragama Islam. Ajaran agama Islam ini konon masuknya melalui Minangkabau (Sumatera Barat). Orang Mandailing adalah pemeluk agama Islam yang taat, sehingga unsur-unsur kepercayaan leluhur (permalin) menjadi tergeser atau hampir tidak ada lagi.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Selasa, 09 Agustus 2016

Sejarah Suku Lintang Lengkap

Suku Dunia ~ Lintang adalah satu kelompok sosial yang berdiam di sekitar Sungai Lintang, yaitu Sungai Lintang Kiri dan Sungai Lintang Kanan, di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Nama daerah Lintang diberikan karena Sungai Lintang terletak melintang di alur Sungai Musi. Penduduk setempat menyebut diri mereka jemo Lintang, yang artinya "orang Lintang". Menurut cerita rakyat, nenek moyang orang Lintang yang pertama kali membangun dusun di daerah tersebut berasa dari luar dan masuk ke daerah tersebut melalui Sungai Musi.


Daerah kediaman mereka disebut wilayah Lintang Empat Lawang, yang meliputi empat kecamatan, yaitu Kecamatan Ulu Musi dengan ibu kotanya Padang Tepong, Kecamatan Pendopo dengan ibu kotanya Pendopo, Kecamatan Muara Inang dengan ibu kotanya Muara Pinang, dan Kecamatan Tebing Tinggi dengan ibu kotanya Tebing Tinggi. Nama Lintang Empat Lawang muncul dengan adanya keyakinan masyarakat bahwa mereka diturunkan oleh nenek moyang yang berasal dari empat lawangan (pahlawan) dari dusun yang berbeda-beda, yaitu (1) lawangan dari dusun Batu Pance; (2) lawangan dari dusun Tanjung Raya; (3) lawangan dari dusun Muara Tandi yang sekarang disebut Muara Danau; (4) lawangan dari dusun Lubuk Puding.

Orang Lintang menggunakan bahasa Lintang (baso Lintang), yang terdiri atas dua dialek, yaitu dialek o dan dialek e. Dialek o digunakan di Kecamatan Ulu Musi, Pendopo, dan Muara Pinang. Dialek e digunakan di Kecamatan Tebing Tinggi, dan beberapa dusun di Kecamatan Ulu Musi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatra Selatan pada tahun 1986, jumlah penutur bahasa Lintang di wilayah ini diperkirakan sekitar 181.206 jiwa. Secara khusus, jumlah penutur bahasa Lintang dialek o diperkirakan berjumlah 125.785 jiwa. Di daerah ini orang Lintang hidup berbaur dengan masyarakat suku bangsa lain, misalnya dengan suku bangsa Jawa di daerah Pasemah Air Keruh di Kecamatan Ulu Musi, suku bangsa Minangkabau di Kecamatan Pendopo, atau suku bangsa Melayu Palembang di Kecamatan Muaro Pinang.

Perkembangan atau dusun orang Lintang umumnya dirikan mengelompok di tepi sungai. Sejak masuknya pemerintah Belanda, dusun-dusun orang Lintang mulai pindah ke tepi-tepi jalan raya. Mata pencaharian pokoknya adalah bertani, terutama menanam padu di sawah. Tanaman pokok lainnya adalah kopi yang tumbuh subur di daerah tersebut. Hasil kopi dari daerah ini sejak jaman Belanda sudah menjadi salah satu komoditi ekspor. Dalam berkebun kopi biasanya orang Lintang melakukannya dengan cara membuka areal hutan yang terdapat di sekitar mereka. Mata pencaharian lainnya adalah berkebun kelapa dan buah-buahan, beternak dan berdagang. Mereka juga menangkap ikan di sekitar sungai-sungai yang terdapat di lingkungan tempat tinggal mereka.

Masyarakat Lintang terbagi atas kelompok-kelompok marga. Di daerah Lintang Empat Lawang terdapat sekitar 13 marga dan 120 dusun. Pemimpin sebuah marga disebut Pasirah atau Depati, yang kedudukannya dalam struktur pemerintah sekarang berada di bawah camat. Pada masa lalu seorang pasirah sering kali diberi gelar tertentu, misalnya gelar Pangeran. Sebagai pemimpin adat, seorang pasirah bertanggung jawab memimpin dan melindungi warga marganya. Dalam melaksanakan tugasnya seorang Pasirah dibantu oleh para Pamong Marga, yang terdiri atas: juru tulis marga yang bertugas dalam hal administrasi, gindo atau pembarap, yaitu kepala dusun, penggawo yaitu pembantu kepala dusun dalam melaksanakan tugas sehari-hari, penghulu atau khatib yang bertugas dalam hal keagamaan.

Secara keseluruhan sistem kehidupan orang Lintang berorientasi pada suatu tatanan hukum adat yang sudah berlaku di daerah pedalaman Sumatera Selatan sejak zaman Kesultanan Palembang, yang tercakup dalam kitab Undang-Undang Simbur Cahaya. Walaupun sejak jaman kemerdekaan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi, masyarakat masih mempertahankan norma-norma yang terkandung di dalamnya, termasuk sanksi-sanksi untuk perbuatan yang melanggar adat. Di kalangan masyarakat berkembang suatu sistem tolong-menolong yang diterapkan pada berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem gotong-royong, misalnya, dilaksanakan dalam peristiwa kematian (petolong), menanam padi (ngersayo-betanam padi), mendirikan rumah (ngersayongakkan uma), dan sebagainya.

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang dianggap penting dalam masyarakat Lintang. Menurut anggapan mereka, seseorang dapat dikatakan berhasil dalam hidup bila semua anaknya telah membentuk rumah tangga sendiri-sendiri yang terpisah dari rumah orang tuanya. Suatu perkawinan diawali dengan peminangan calon mempelai wanita oleh keluarga laki-laki, yang diiringi dengan proses tawar-menawar besarnya biaya perkawinan yang harus diberikan oleh pihak laki-laki.

Pada saat itu pula ditentukan tempat tinggal kedua mempelai sesudah menikah. Ada lima kemungkinan tempat tinggal sesudah nikah yang umum berlaku pada masyarakat Lintang, yaitu (1) rasan bejujur, artinya mempelai wanita bertempat tinggal dan ikut kelompok suaminya (patrilokal); (2) rasan tambik anak teguh, artinya mempelai laki-laki bertempat tinggal dan ikut kelompok istrinya (matrilokal); (3) rasan tambik anak tungguan duo, artinya pasangan pengantin baru bebas memilih apakah si suami ikut ke kelompok istrinya atau sebaliknya, istri ikut kelompok suaminya (utrolokal); (4) rasan tambik anak ngantat, artinya untuk jangka waktu tertentu suami bertempat tinggal di kelompok istrinya (matrilokal), baru kemudian pindah ke kediaman yang sama sekali baru (neolokal); (5) rasan tambik anak belapik duit, hampir sama dengan no (4), yaitu mula-mula di kediaman kelompok istri, baru kemudian bebas memilih tempat tinggal yang baru. Kini umumnya orang Lintang yang baru menikah memilih untuk menetap di kediaman yang sama sekali baru (neolokal).

Gabungan keluarga batih membentuk suatu keluarga luas utrolokal yang disebut peranakan. Kelompok-kelompok peranakan membentuk kelompok yang lebih besar, yang disebut rugoek-kampoeh. Kelompok rugoek-kampoeh biasanya saling berhubungan dalam berbagai kegiatan, misalnya dalam upacara perkawinan, kegiatan di sawah dan sebagainya.

Orang Lintang umumnya adalah pemeluk agama Islam. Yang berperan dalam urusan keagamaan ini adalah seorang penghulu yang bertanggung jawab pada tingkat marga dan seorang khatib yang bertanggung jawab pada tingkat dusun. Pengaruh agama Islam juga terlihat dalam bentuk-bentuk kesenian orang Lintang, diantaranya kesenian rebana, jidor, dan berbagai tari-tarian. Bentuk kesenian lainnya yang masih berkembang dengan baik adalah tradisi sastra lisan, seperti pantun, jampi, memoneng, rejung, andai-andai, karnasian, dan sebagainya.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya

Senin, 01 Agustus 2016

Sejarah Suku Lara Lengkap

Suku Dunia ~ Lara salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak dan Kabupaten Sambas. Di Kabupaten Sambas mereka paling tidak berdiam dalam lima kecamatan, yaitu kecamatan Bengkayang, Ledo, Sanggau, sejangkung, dan Seluas. Pada tahun 1974 orang Lara yang berdiam di Pontianak berjumlah 7.123 jiwa dan di Kabupaten Sambas berjumlah 33.665 jiwa. Sumber tertentu menyebutkan bahwa orang Lara ini merupakan sub kelompok dari Dayak Kendayan.
Ilustrasi Suku Dayak Lara
Gambaran umum tentang orang Dayak Lara ini kiranya dapat dikenali dari suatu hasil penelitian Tim Survey Direktorat Pembinaan masyarakat Terasing, Suku Dayak Manyuke & Lara di Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (1975). Kecamatan Bengkawang terletak di sebelah timur kota Singkawang. Jarak antara Singkawang Bengkayang, ibu kota Kecamatan, sekitar tiga jam dengan kendaraan bermotor melalui jalan raya yang sudah beraspal baik. Ibu kota kecamatan ini sudah dilengkapi sarana ekonomi berupa pasar yang tersedia berbagai bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Pasar ini sebagian besar diisi oleh pedagang keturunan Cina. Sebaliknya prasarana jalan ke desa-desa atau kampung-kampung terpencil harus ditempuh melalui jalan setapak.

Dalam kecamatan Bengkayang itu, orang Lara terbagi atas beberapa kelompok yang berlatar belakang pengelompokan adat, yang disebut benua. Setiap benua dipimpin oleh seorang kepala adat. Pengelompokan dengan latar belakang adat di kecamatan ini adalah Benua Seburuk, Benua Sebetung, Benua Sebetung Menyala, Benua Teriak, dan Benua Palayo. Setiap benua itu masih terbagi atas beberapa kampung atau kepala desa yang diangkat secara formal yang berkedudukan di bawah Camat. Kampung yang sudah resmi tercatat di kantor Kecamatan sebanyak 15 buah, namun secara dengan keseluruhan ada sekitar 30 kampung. Jumlah penduduk kampung atau anak kampung ini bervariasi antara 70-an jiwa sampai mendekati 600 jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari kepala Benua lebih berpengaruh dibandingkan dengan kepala kampung. Lebih-lebih dalam hal-hal yang menyangkut dengan adat kepala kampung tidak mempunyai kekuasaan. Bagi Camat kedua pemimpin sama-sama diakui sesuai dengan peranannya masing-masing.

Mata Pencaharian Suku Lara

Di tengah lingkungan alam yang umumnya ditutupi oleh hutan, mereka bermata pencaharian dengan bercocok tanam di ladang, ternak, kebun, menangkap ikan, dan mencari hasil hutan. Perladangan merupakan ladang berpindah yang umumnya untuk satu kali musim tanam. Satu keluarga umumnya mengerjakan satu hektar dengan padi sebagai tanaman pokok. Selain padi mereka juga menanam singkong, jagung, pisang, kacang tanah, ubi rambat. Singkong itu dipanen ketika mereka perlukan untuk makanan tambahan, sedang yang lain digunakan untuk makanan babi.

Ternak yang umum dipelihara adalah babi, karena pemeliharaannya mudah, jarang kena penyakit dan harganya mahal. Anjing mereka kembangbiakkan adalah untuk kepentingan upacara adat. Anjing disembelih dalam rangka upacara menanam padi, upacara penguburan, dan lain-lain. Hampir setiap keluarga memelihara ayam dan sebagian anggota masyarakat juga memelihara itik.

Sejak lama masyarakat ini telah mengenal tanaman karet. Sebagian besar keluarga masyarakat ini memiliki kebun karet dengan 300 - 500 pohon. Namun gairah mereka mengusahakan kebun karet sering merosot karena harga yang tidak stabil. Banyak kebun yang terbengkalai atau ditebangi untuk dijadikan ladang padi, karena biaya menyadap, pangasapan dan pengangkutan yang mahal. Tanaman kebun yang lain ialah lada dan nanas. Meskipun harga lada cukup tinggi, namun mereka belum memiliki kemampuan teknis dan biaya untuk pengusahaan tanaman lada ini. Mata pencaharian sambilan adalah berburu dan mencari hasil hutan. Binatang buruan adalah kijang, rusa, dan babi hutan. Hasil hutan yang diramu adalah tengkawang, rotan, dan lain-lain.

Rumah kediaman orang Lara ada yang berupa rumah panggung dan ada yang merapat ke tanah. Ukuran rumahnya tidak seragam, misalnya 6 x 8 meter atau 6 x 12 meter. Bahan tiang ada yang persegi dan ada yang bulat yang dengan mudah diperoleh dari lingkungan sekitar. Sebagian rumah berdinding papan dan sebagian lain dari kulit kayu dengan atap umumnya rumbia. Rumah itu berpintu dua buah yang ada di bagian depan dan bagian belakang, namun tanpa jendela sehingga ruang dalam rumah itu tampak gelap. Sebagian rumah tanpa kamar dan sebagian lainnya punya kamar. Tempat tidur dibuatkan balai-balai dengan alas tikar dari daun pandan.

Perabot rumah tangga tampak, sebagian dari mereka telah memiliki kursi, meja dan lemari. Alat-alat rumah tangga yang mereka miliki berupa periuk, belanga, panci, piring, gelas, ketel dan lain-lain yang mereka beli dari pasar. Wadah-wadah tertentu mereka buat sendiri, misalnya wadah anyaman bambu untuk mengangkut padi yang disebut asung. Wadah anyaman bambu yang lebih besar digunakan untuk menyimpan padi dalam rumah disebut olo. Alat untuk mengangkut kayu terbuat dari rotan dengan cara menggendong disebut rancang. Sekarang mereka telah memakai pakaian seperti yang umum dipakai di tempat lain, mereka sudah lama meninggalkan pakaian seperti cawat. Para wanita Lara gemar akan perhiasan yang terbuat dari emas dan batu-batuan. Perhiasan yang dipakai adalah anting, cincin, gelang, dan kalung. Sebagian dari mereka juga memasang gigi emas.

Agama dan Kepercayaan Suku Lara

Mereka telah menganut agama seperti agama Katolik. Namun, mereka masih percaya terhadap kekuatan gaib yang ada pada benda-benda tertentu atau yang menghuni tempat tertentu. Roh-roh orang yang telah meninggal dipercayai masih ada di sekitar kediaman mereka, yang kadang-kadang akan datang mengganggu. Oleh sebab itu sewaktu-waktu mereka menyediakan sajian yang diletakkan di sekitar batu besar, kayu besar, sungai, atau persimpangan jalan.

Mereka juga banyak melakukan upacara, misalnya upacara begawi. Upacara ini merupakan upacara syukuran setelah panen. Dalam upacara ini mereka mempersembahkan sajian antara lain berupa darah anjing yang ditaburkan di tempat tertentu. Selain itu dipersembahkan ayam dan babi beserta darahnya, nasi pulut (lemang), kue-kue yang terbuat dari beras. Upacara itu disertai pula tepung tawar berupa air bunga, sobekan kain warna-warni, dan pembakaran kemenyan. Upacara ini dimaksudkan agar mereka mendapat hasil yang cukup pada panen berikutnya, warga kampung itu mendapat perlindungan dari gangguan setan dan penyakit. Upacara ini dilaksanakan oleh warga satu kampung dan dipimpin oleh kepala adat.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa
Baca selengkapnya